DILARANG MEROKOK RUANG BLOG INI BER AC

Honor

Syalala…
Perasaan Ica begitu gembira. Senyum lebar tidak lepas dari wajah manisnya. Senandung kecil berirama meluncur dari bibirnya. Lihat saja cara dia berjalan. Kadang berlari kecil, melompat, bahkan berputar putar. Rambut belakang yang dikuncir ekor kuda ikut melambai-lambai. Apa gerangan yang membuat Ica begitu bersemangat hari ini? Dan, benda apa yang dia lambai-lambaikan itu?
“Hore, aku dapat honor..!” Pekik Ica spontan. Ini teriakan yang ke enam kali sejak Ica meninggalkan kantor redaksi koran “Suara Yogya”. Untunglah jalanan sepi, jadi tidak ada yang menganggap Ica orang aneh. Kini amplop putih itu dia pandangi dengan takjub. Dan, Muah! Aduh, Ica! Sudah berapa kali kau kecup amplop berisi honor itu?
Berapa ya isi amplop ini? Ica mengetuk-etukkan jari telunjuk ke pelipisnya. Lalu, dia raba amplop putih itu. Tipis. Ah, meskipun tipis, bukan berarti isinya sedikit, kan? Ica meyakinkan dirinya sendiri. Siapa tahu uang di dalamnya dalam lembaran seratus ribu rupiah. Duh, ingin rasanya segera merobek pinggir amplop ini. Sreek! Tapi jangan, ah. Siapa tahu ada orang jahat mengintai di belakang. Hii, Ica jadi ngeri. Dia percepat ayunan kakinya.
Rumah berpagar batu kali sudah tampak di kejauhan. Itulah rumah kesayangan Ica.
***
Ini honor pertama yang diterima Ica. Pantaslah dia begitu bersemangat. Bukan sekali ini saja Ica mengirimkan cerpen. Sudah belasan kali. Tapi selalu gagal dimuat. Bukan Ica namanya kalau mudah patah semangat. Hampir setiap minggu Ica menghasilkan satu cerpen baru. Hebat ya?
Keberuntungan menghampiri Ica berawal ketika Mbak Lira mampir ke rumah. Mbak Lira adalah wartawan koran “Suara Yogya”. Ica sekeluarga sudah akrab dengannya. Kebetulan Mbak Lira adalah teman mama sewaktu masih kuliah.
“Ica masih rajin bikin cerpen, kan?” tanya Mbak Lira. “Tentu, Mbak. Ica masih tetap semangat walau belum satupun yang dimuat. Hehehe.” Ica berkelakar.
“Sst. Mbak Lira punya kabar gembira, nih.” Bisik Mbak Lira. “Mulai bulan depan, koran tempat Mbak bekerja, mau menyediakan halaman khusus untuk anak-anak.”
“Terus apa hubungannya dengan Ica, Mbak? Apa Ica mau diangkat jadi redaktur?” sahut Ica melucu.
“Aduh, Ica! Mbak serius.” Kata Mbak Lira sambil mencubit pipi Ica. “Mbak Lira pingin memberi kesempatan kepada Ica untuk memasukkan cerpen anak-anak. Yah, siapa tahu cerpen Ica cocok dengan pembaca koran Mbak.”.
“Asyik, dong. Berarti pasti dimuat, ya?”
“Ya, nggak dong, sayang. Redaksi yang nanti akan menilai. Tapi Mbak Lira akan membantu memilih cerpen Ica yang paling bagus. Ayo, bawa sini kumpulan cerpen Ica.” Selanjutnya Ica dan Mbak Lira asyik membolak-balik kumpulan cerpen Ica.
Satu bulan Ica menunggu. Dan syukurlah cerpen Ica betul-betul dimuat. Yeah!
***
Ica sekarang sudah berada di dalam kamarnya. Pintu kamar sudah tertutup rapat. Ica tidak ingin ada yang mengintip. Ica tengkurap di atas kasur. Ditimang-timangnya, amplop putih yang tadi dia terima dari kantor koran “Suara Yogya”. Hemm, berapa ya isinya? Apa sebanyak yang diterima papa tempo hari? Ya, tempo hari tulisan papa tentang Gunung Merapi dimuat di Kompas. Ica sempat melihat wesel yang diterima papa. Disana tertulis empat ratus ribu rupiah. Wow. Apakah amplop ini berisi uang empat ratus ribu? Ah, tidak mungkin. Bukankah tulisan papa lebih panjang dan dilengkapi foto-foto pula. Aha, bisa jadi amplop ini berisi uang tiga ratus ribu rupiah. Bukankah mama juga selalu menerima uang sebanyak itu bila cerpennya dimuat di majalah ibukota?
Kini tidak ada lagi alasan bagi Ica untuk menunda membuka amplop itu. Sreek! Sekali tarik, sisi amplop itu sudah terbuka. Ica merogoh isi amplop itu dengan tangan gemetar. Pelan-pelan ditariknya. Ada dua lembar uang kertas. Ditariknya terus. Kini uang sudah di tangan Ica. Ica memandangi uang itu tidak percaya. Ica kembali meraih amplop putih. Disobeknya lebar-lebar. Memang sudah kosong. Tidak ada uang yang tertinggal di dalamnya.
Ica mengangkat kedua lembar uang kertas miliknya. Keduanya berwarna hijau. Keduanya bertuliskan dua puluh ribu rupiah. Jadi honorku hanya empat puluh ribu rupiah? Oh! Mama, Ica tidak menyangka. Ica sedih. Ica kecewa. Jerit Ica dalam hati.
Tok-tok-tok. Pintu kamar diketuk tiga kali. Pasti Papa. Benar saja. Papa muncul dari balik pintu diikuti mama di belakangnya. Buru-buru Ica menyembunyikan amplop dan uang honor ke balik bantal. Ah, untung saja aku tadi tidak jadi menangis betulan, kata Ica dalam hati.
“Halo anak manis. Hari ini jadi mengambil honor?” Tanya mama lembut. Ica mengangguk dua kali. Ica berusaha tersenyum lebar. Tapi mama tahu kalau Ica menyembunyikan kesedihannya.
“Anak mama harus gembira, dong. Berapa pun honor yang Ica terima harus diterima dengan gembira. Anggaplah itu sebagai piala terindah. Medali emas paling berkilau atas keberhasilanmu membuat cerpen yang hebat!” Kata mama sambil mengelus kepala Ica. “Ica tahu berapa banyak honor yang diterima mama saat cerpen mama dimuat pertama kali?” Ica menggeleng cepat.
“Lima ribu rupiah.” Sahut Papa. “Tapi itu masih lebih bagus. Karangan papa yang pertama kali dimuat, tidak dibayar dengan uang tapi dengan dua buah buku tulis, sebatang pensil dan rautan.”Lanjut papa. Ica terbelalak tidak percaya. Kini Ica malah tertawa terbahak-bahak. Aduh, malang benar nasib papa dahulu.
“Ica tidak sedih lagi, Mam. Ica senang kok, cerpen Ica akhirnya ada yang dimuat.” Kata Ica sambil tertawa kecil.
“Stt. Suara apa itu?” Tiba-tiba papa berkata setengah berteriak. Ica dan mama buru-buru memasang telinga. Dog-dog-dog. Aha! Itu suara kentongan Pak Kasim, penjual mi rebus. Wajah papa, mama, dan Ica berbinar-binar. Selain sekeluarga hobi mengarang, makan mi rebus adalah hobi yang tak pernah mereka tinggalkan.
“Ica yang traktir ya. Kalau sekadar bayar tiga piring mi rebus, honor Ica masih cukup, kok.” Kata Ica sambil mengangkat kepala. Papa tertawa.
“Eit, Ica dapat ilham nih!” Pekik Ica mengagetkan mama dan papa. “Ica mau membuat cerpen tentang penjual mi rebus. Namanya Pak Kasim. Dia bekas pejuang kemerdekaan. Dia hidup sendirian, miskin, tak ada sanak saudara…”
“Akhirnya dia merantau ke Jakarta untuk mencari istrinya yang terpisah saat perang,” sahut mama bersemangat.
“Atau… sebetulnya dia adalah alien dari planet Venus yang menyamar..!” timpal papa. Ica tertawa keras sekali. Air matanya sampai keluar. Aduh, papa. Mana ada alien jualan mi rebus!

0 komentar:

Posting Komentar