DILARANG MEROKOK RUANG BLOG INI BER AC

Pritha Khalida

Yaah, memang sudah berdebu. Sekali lagi kupandangi teralis yang memagari jendela kamarku. Aku jadi teringat reaksi suamiku semalam saat melihatnya.
“Bunda, besok ada acara enggak?” tanyanya lembut, yang segera kujawab dengan gelengan kepala.
“Ayah mau ngajak jalan-jalan kemana memang?” hatiku mendadak berbunga-bunga.
“Tolong sempatkan mengelap teralis, ya?” Ia berbicara, tepatnya memintaku dengan gayanya yang khas, lembut, datar namun tegas. Aku memonyongkan bibir,
“Kirain mau ngajak pergi…”
“Hmm, gini deh. Kalau besok enggak ada pekerjaan mendadak di kantor, kita makan sate kambing Pak Atam, mau?”
“Asyiiik! Betul, Yah? Mauuuu!!”
“Nah gitu dong, jangan manyun. Begini kan lebih cantik…” ujar suamiku sambil menarik hidungku.
Dan kini, aku sudah siap dengan sebuah lap dan cairan pembersih. Setiap senti teralis mulai kubersihkan sampai mengilap. Fiuhh, ternyata kacanya juga sudah lumayan kotor. Aku pun segera mengambil lap lainnya.
“Andra, udah mama bilang jangan main tanah terus! Kotor, tauu!!” dari balik kaca kulihat Mbak Anik – tetangga seberang – sedang menjawil tangan anaknya yang baru berumur empat tahun itu dan membawanya masuk. Teriakan Mbak Anik tak lama kemudian disusul oleh suara kecil nan nyaring,
“Tapi kan Anda mau bikin gedung, kayak papa.”
“Iya, tapi jangan pakai tanah! Kamu tau enggak kalau di tanah itu banyak cacing! Gimana nanti kalau termakan?”
“Tapi kan tanahnya enggak Anda makan.”
“Selain cacing, juga banyak bakteri dan virus!”
“Baktei dan viyus itu apa?”
“Hewan-hewan yang sangat keciiil sampai enggak kelihatan, tapi bisa menularkan penyakit sama kamu. Mau?”
Brak! Pintu rumah depan ditutup. Membuatku tersadar untuk kembali pada pekerjaanku semula. Tapi eh, ternyata sudah bersih. Hmm, kurasa inilah bukti bahwa perempuan memang memiliki kemampuan membagi perhatian, he he he!
Tercium aroma harum dari dapur. Ah, itu pasti dari sup ayam di dalam panci. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul lima kurang seperempat. Sebentar lagi suamiku pulang. Aku bergegas mengambil handuk. Ya, aku selalu ingin tampil cantik setiap menyambutnya pulang kantor. Namun, baru saja aku menyalakan kran air untuk memenuhi kamar mandi,
“Jeng Fitra…” suara itu terdengar, disusul ketukan pintu yang tampak seperti orang terburu-buru. Mbak Anik! Ada apa, ya?
“Ya, mbak?” aku melihat wajahnya pucat.
“Punya Dettol?”
“Enggak. Untuk apa?”
“Ya bikin air bak jernih, dong! Masa buat diminum?”
“Emmh, saya enggak pakai tuh, Mbak.”
“Enggak pernah pakai?? Serius?? Waduuuh, jeng Fitra ini gimana, sih??”
Suara Mbak Anik terdengar panik seakan ucapanku barusan mengenai ‘tidak-pernah-pakai-dettol’ adalah sebuah kesalahan besar yang akan berakibat amat fatal bagi kesejahteraan umat.
“Tapi, bukannya air di kompleks kita ini sudah bening? Jadi saya pikir, enggak perlu.”
“Owalaahhh… Kuman dan bakteri itu mengancam di setiap sudut rumah lho, jeng! Kalau enggak hati-hati, kita bisa terkena berbagai wabah penyakit! Pasti jeng belum baca Koran hari ini. Puluhan balita terkena penyakit kulit karena sanitasi yang buruk! Waspada, jeng! Waspada!”
Aku hanya tersenyum. Enggan rasanya membela diri. Perkataan defensif kurasa hanya akan menggali segala bentuk fakta dan pemikiran yang lebih panjang dari wanita berambut ikal tersebut.
“Ah ya sudah, aku ke supermarket depan kompleks saja dulu. Tadinya kupikir jeng Fitra punya, jadi bisa kupinjam dulu untuk mandi sore ini.” Mbak Anik pun meninggalkanku dengan wajah kusut.
Malam harinya suamiku memenuhi janjinya. Ia mengajakku makan sate kambing Pak Atam, setelah sebelumnya menyingkap tirai dan memuji hasil kerjaku.
Kedai sate saat itu tampak tak terlalu penuh. Kami mendapatkan tempat yang bagus, di sebelah pojok dekat tangga. Aku sedikit bernostalgia. Dulu waktu masih kuliah (aku dan suamiku kuliah di universitas yang sama, namun beda jurusan), kami acapkali makan di sini dengan sistem ‘traktir gantian’, tergantung siapa yang baru dapat transfer uang saku atau gaji magang sana-sini.
“Jeng Fitraaa!” aku menoleh. Mbak Anik baru saja memasuki kedai.
“Sebentar ya, saya pesan dulu!” Ujar Mbak Anik. Seorang pelayan mengantarkan dua gelas teh hangat ke meja kami. Mas Dito-suami Mbak Anik dan Andro tampak sedang mencari tempat duduk yang kosong. Suamiku melambaikan tangan pada Mas Dito, menunjukkan bahwa meja di sebelah kami masih kosong. Pembicaraan khas bapak-bapak pun terdengar di telingaku.
Daripada diam, aku pun mencoba mengajak Andra mengobrol.
“Hai Andra, sudah kelas berapa sekarang?”
“Nol kecil, tante!”
“Woow! Sudah belajar apa saja di sekolah?”
“Belajar Iqra!” Andra tampak diam sesaat, lalu meneruskan omongannya, “Anda udah hafal surat Al Fatihah sama Al Ikhlas lho Tante Fita…” ucapnya cadel.
“Anak pintar!” pujiku sambil mengelus kepalanya yang ditumbuhi rambut ikal nan tebal seperti ibunya.
Sate pesanan kami tiba.
“Makan, Mas?” suamiku menawari Mas Dito.
Aku mengalihkan perhatian pada Mbak Anik, penasaran mengapa sudah selama ini ia belum bergabung juga dengan kami? Tampak Mbak Anik masih berdiri di samping pengipas sate. Entah apa yang ia bicarakan, namun kulihat pengipas sate itu sibuk memindahkan tempat pembakaran sate agak meminggir. Mbak Anik mengawasinya dengan seksama. Aku melambaikan tangan padanya sebelum memakan sate yang mengepul di hadapanku.
“Kok lama, mbak?” tanyaku saat Mbak Anik menghampiri keluarganya.
“Heran deh, Jeng… Kok tukang sate itu meletakkan pembakarannya menjorok ke jalan, ya?”
“Yaa, biar asapnya enggak memenuhi kedai.” Jawabku sekenanya.
“Iya siih, tapi coba bayangkan berapa banyak mobil dan motor yang lalu-lalang di jalan ini? Apa enggak takut kena polusi? Asap dari knalpot kendaraan bermotor itu kan terhisap saja sudah enggak baik, apalagi kalau menempel ke sate yang kita makan!”
Mbak Anik duduk, “Makanya tadi aku suruh aja pelayannya memajukan pembakaran ke samping kedai.
“Lho, apa enggak mengganggu toko di sebelahnya?”
“Ah di sebelahnya itu kan minimarket waralaba, tertutup pintu kaca dan ber-AC pula, jadi ya enggak apa-apa lah.” Ia menukas. Aku meneruskan makan.
“Minta kobokan enam, ya. Untuk cuci tangan sebelum makan dan sesudah makan. Jangan lupa setiap kobokan diberi jeruk nipis.” Pinta Mbak Anik pada pelayan yang mengantarkan satenya.
“Itu jeruknya di meja, bu.” Tunjuknya dengan sopan.
“Aduuh, sampeyan itu gimana?? Yang itu sudah berserakan begitu, pasti ada yang bekas pakai orang lain. Saya mau yang baru. Ada, kan? Jangan lupa dicuci dulu yaa…” Mbak Anik mencecar pelayan bertubuh pendek di depannya, yang hanya bisa manggut-manggut.
“Dia memang begitu.” Jawabku ketika suamiku menanyakan perihal Mbak Anik tadi di kedai sate. Aku meneruskan membersihkan muka dengan susu pembersih.
“Oya? Repot amat?”
“Ih, ayah enggak tahu, ya? Tadi sore aja dia nyalahin bunda waktu mau minta dettol, sementara dia tahu kalau bunda enggak pakai produk itu. Bunda dikira enggak waspada sama kesehatan!”
“Lah dia sendiri, waspada kok minta?”
“Enggak ngerti. Lebay deh!”
“Hah?”
“Lebay! Berlebihan…”
“Akh, bunda ini bisa saja.” Katanya sambil menarik selimut hingga sebatas perutnya. Tak lama kemudian terdengar dengkur halusnya.
“Aduuuh, ini tukang sampah kemana, sih?? Percuma tiap bulan bayar iuran sampah kalau sampahnya menumpuk begini!”
Jam setengah tujuh pagi aku mendengar pekikan Mbak Anik dari depan rumah. Kulihat dari jendela, ia tampak berkacak pinggang dengan raut muka yang sudah ditekuk sepuluh. Beberapa ibu-ibu yang melewatinya tersenyum padanya. Ada yang asal lewat, ada pula yang menyempatkan untuk mendengarkan keluhan Mbak Anik. Tadinya aku sama sekali tak berminat untuk bergabung, seandainya saja si Apin-tukang sayur langgananku tidak meneriakkan dagangannya. Teringat bahwa hari ini mau masak capcay, maka aku pun segera keluar rumah. Pemuda belasan tahun itu sudah menghentikan gerobaknya di depan rumah.
“Jeng Fitra, lihat nih… Tukang sampah hari ini absen!”
“Sakit kali, Mbak. Pak Rusdi kan memang sudah tua.” Ucapku.
“Aduh, kalau memang sakit mbok ya profesional sama pekerjaan. Dilimpahkan ke orang lain, kek. Kalau begini kan merugikan kita-kita, warga kompleks sini. Iya nggak?”
Aku menumpuk wortel di atas kol dan sawi. Apin memasukkan satu persatu sayuran yang kubeli ke dalam plastik hitam. Kutatap Mbak Anik,
“Baru hari ini kan, Mbak? Tunggu saja sampai besok atau lusa. Kalau masih enggak datang, baru kita lapor sama RT.”
“Lusa? Kelamaan! Bisa-bisa kita keburu kena penyakit pes!”
“Bukannya penyakit pes itu disebarkan oleh tikus, Mbak?”
“Oh…eh…Yaa, apa lah namanya… Pokoknya pasti banyak penyakit yang akan timbul kalau sampah menggunung!” katanya dengan geram.
Hari minggu sore. Aku dan suamiku baru saja pulang dari berakhir pekan di rumah Mama. Sementara kusiapkan teh susu favoritnya, terdengar ketukan di pintu. Suamiku membukakannya.
“Assalamualaykum, Bu Fitra ada?”
“Alaikum salam. Eh Bu Tanti… Ada tuh di belakang. Silahkan duduk.”
“Ah nggak usah, Pak. Saya buru-buru, mau ke rumah sakit. Itu sudah ditunggu ibu-ibu. Saya kesini cuma mau ngajak Bu Fitra, barangkali mau ikut menjenguk Bu Anik.”
“Memang Mbak Anik sakit apa, Bu?” tanyaku sambil meletakkan teh susu di meja.
“Sekujur tubuhnya terbakar.”
“Haah?? Kenapa??” aku terkejut mendengarnya.
“Si Apin yang lihat. Katanya waktu dia lewat kemarin, Bu Anik lagi bakar sampah di depan rumahnya. Beberapa menit kemudian saat si Apin menjajakan dagangannya di RT sebelah, terdengar teriakan Bu Anik. Rupanya api membesar dengan cepat dan Bu Anik sepertinya enggak sempat menjauh dari tempat sampah.”
“Astaghfirullah…” aku menggumam. “Ya sudah kalau begitu tunggu sebentar ya… Saya ikut! Eh, boleh kan, Yah?” aku menengok pada suamiku, yang menjawab dengan anggukan.
Di sebuah ruangan kelas dua rumah sakit Hasan Sadikin, kulihat Mbak Anik terbaring. Badannya yang sebelah kanan terbakar, tampak kulitnya mengelupas. Kontras sekali dengan kulit putih yang masih menyelimuti bagian kiri badannya.
Aku tersenyum padanya, juga pada Mas Dito yang tampaknya sudah melewatkan tidur malamnya demi menjagai istrinya.
“Jeng Fitra…” ucapnya lemah.
“Psst… Sudah enggak usah banyak bicara dulu, Mbak. Gimana keadaannya, Mas?”
“Dokter sudah memberinya salep dan obat-obatan lain.” Jawab Mas Dito. Sementara ibu-ibu silih berganti menghampiri Mbak Anik, aku menghampiri Andra yang tertidur di sofa di pojok kamar. Mas Dito membetulkan jaket yang menyelimutinya.
“Kok bisa sampai begitu, Mas?”
“Anik kurang sabar menunggu tukang sampah. Kemarin pagi saat saya masih tidur, Anik rupanya nekat membakar sendiri sampah di depan rumah. Tidak tahunya di tumpukan sampah itu ada botol cairan pembasmi nyamuk yang masih ada isinya. Begitu tersulut api, yaa meledak!” aku dan beberapa ibu yang menyimak keterangan Mas Dito mengangguk-angguk.
Jam besuk sudah habis. Kami berpamitan pada Mbak Anik. Saat tiba giliranku, aku mendekatinya dan menyentuh tangannya,
“Jeng… jangan!” suaranya parau.
“Eh, maaf… Sakit ya, Mbak?” Mbak Anik menggeleng. Aku keheranan dibuatnya.
“Salepnya masih basah. Habis ini langsung cuci tangan pakai sabun antiseptik ya. Nanti termakan…” senyum menghiasi bibirnya yang pucat.
Aku tersenyum. Ah Mbak Anik… Mbak Anik… Mrs. Clean yang satu ini memang selalu waspada

0 komentar:

Posting Komentar