DILARANG MEROKOK RUANG BLOG INI BER AC

Sejuta Cerita Jogja

Raungan alarm sialan itu mengawali hariku. Balutan piyama tipis yang kukenakan adalah satu-satunya pelindung tubuhku dari dingin fajar. Aku terbangun, dan menyadari bahwa itu adalah fajar terakhirku di Bandung untuk lima hari ke depan. Sore itu, adalah hari yang kunantikan sejak ajakan sahabatku untuk berlibur.
Hari itu aku terlalu bersemangat, bahkan aku sudah mengepak seluruh barang-barangku, padahal aku tahu bahwa aku masih memerlukan peralatan mandiku di pagi hari. “Aku tidak peduli,” pikirku. Dan ketika alarm berbunyi untuk kedua kalinya, aku baru sadar bahwa tadi aku hanya menekan tombol snooze.
Sore itu, 16 mahasiswa memutuskan untuk meninggalkan semua pekerjaan mereka di kampus untuk sementara. Melarikan diri dari tugas-tugas mereka demi kesenangan pribadi kah? Aku sendiri berpikir demikian. Entah dengan mereka. Namun semangat berliburku lebih besar dari rasa bersalahku. Jadi tetap kuputuskan untuk pergi…
Tiba di depan Stasiun Bandung, itu adalah pertama kalinya aku menginjakkan kaki di sana sejak aku masih duduk di bangku SD. “Sesuatu di dalam sana akan membawaku ke tempat yang belum aku kunjungi sebelumnya”, kataku dalam hati. Dan setelah delapan jam penuh penantian, hal berikutnya yang kusaksikan adalah gelap subuh di Jogja.
“Kota ini berseni.” Itulah kesan pertamaku. Bahkan ketika ia masih diselimuti gelap, seninya terlalu kuat untuk bisa disembunyikan. Bagiku, yang hampir seumur hidupnya dihabiskan di Jakarta, kota metropolitan, Jogja langsung mendapat tempat khusus di hatiku.
Menyenangkan rasanya melihat wajah teman-temanku yang masih penuh dengan keceriaan bahkan setelah delapan jam perjalanan yang melelahkan. Bagiku sendiri, udara Jogja yang sedang kuhirup saat itu menambahkan jiwa baru pada tubuhku yang sebenarnya sedang menangis meminta diistirahatkan. Jogja terlalu indah buatku untuk bisa mengedip sebentar saja. Dan itu tetap kurasakan hingga detik terakhirku di sana.
Aku menyukai segalanya tentang Jogja kecuali satu: PANAS-nya! Matahari di kota ini sanggup menghitamkan kulitku yang awalnya sudah coklat. Sebelum berangkat ke Jogja, aku sempat memotong pendek rambutku dan aku bersyukur telah melakukannya. Sama sekali tidak terbayang berjalan-jalan di kota ini dengan rambut panjangku yang dulu. Mungkin kepalaku lebih dulu mendidih sebelum kakiku keram berjalan.
Di setiap sisi kota menyimpan cerita. Aku kagum melihat hampir seluruh bangunan di kota ini memiliki nuansa yang sama. Bentuk kuncup bunga di setiap pagar batu menghiasi setiap sudut Jogja dengan caranya sendiri. Seumur hidupku aku selalu berharap sendiri bisa menyaksikan ayu-nya Jogja, dan saat itu aku tak henti-hentinya mengucap syukur pada Tuhan.
Jogja di malam hari bahkan beratus-ratus kali lebih indah. Lampu-lampu jalanan menyinari kota ini seakan menambah corak bagi kota yang awalnya sudah ‘nyeni’ ini. Ratusan becak dan delman memenuhi pinggir jalan Malioboro. Mereka menjual jasa mengantar para pendatang seperti kami mengelilingi Malioboro hingga Keraton dengan harga 200o perak. “Benar-benar kota seni” pikirku. Dan meskipun aku sudah ribuan kali merasakan naik becak, tapi keinginanku untuk mencoba naik becak di Jogja tetap saja besar.
16 pemuda-pemudi berjalan bersama di jalan itu, berfoto-foto ria tanpa peduli puluhan pasang mata sedang memandangi mereka dengan heran, haha… dan aku termasuk di dalamnya. Apa boleh buat, Jogja terlalu indah untuk hanya dilihat saja. Blitz-blitz kamera di sana-sini, berbagai pose dan ekspresi dipasang untuk menggambarkan perasaan mereka. Buatku, entah ekspresi apa yang bisa kugunakan untuk mengungkapkan kekagumanku.
Parangtritis dan semburat senja pantai selatan. Sungguh merupakan obat bagiku yang telah cukup penat merasakan terik Jogja. Habis kata-kataku untuk menggambarkan keindahannya. Gambaran pantai selatan selalu ada di bayanganku, dan setiap kali menutup mata, bayangan itu datang menghiburku. Rona Senja:
Tiba di kala Sang Surya menutup hari
Indahnya merah tak pernah seindah senja.
Setiap mata yang menyaksikannya tersihir, namun laut di bawahnya tetap menanti
Bola merah menyala…
menyentuh cakrawala
berbagi warna
lalu tenggelam bersama duka
Menyaksikan keindahan itu, aku tak henti-hentinya berkata, “Terima kasih, Tuhan, Kau ciptakan karya indah di bumi jogja ini.” Aku menjadi saksi saat laut menelan bola merah nan menawan itu. Gelap datang perlahan tapi pasti, membawa suasana baru bagi malam Jojga yang sebelumnya kukenal. Lalu aku sadar, itu bukan malam Jogja, itu Malam Pantai Selatan yang tak kalah indahnya dengan seni kota itu sendiri.
Oh, Jogja… hatiku sakit meninggalkanmu. Kau merayuku dan berbisik penuh arti tapi aku harus tetap pergi. Indahmu menyimpan sejuta cerita, andai aku dapat hidup cukup lama untuk menguaknya, akan kutulis cerita dibalik setiap corak dalam kainmu. 16 pasang mata yang menjadi saksi kemegahanmu, hanya sedikit bukti dari wajah aslimu. Kelak aku ‘kan kembali lagi dan termakan bisikanmu… lagi.

0 komentar:

Posting Komentar