DILARANG MEROKOK RUANG BLOG INI BER AC

Cristiano Ronaldo - The Boy Who Had a Dream

























Cristiano Ronaldo is blessed with a rare gift, the ability to produce magic with a football at his feet. His sensational skills have attracted fans around the world and have left opponents watching in amazement, disbelief and fear. His pace, power and wonderful technique has lit up the world of football and has seen him become recognized as one of the greatest players on the planet. This revealing documentary looks back at his life and career to date, from humble beginnings in Portugal to his current position as one of the bes
t paid footballers in the world.
Packed with enthralling entertainment and fascinating insights 'Cristiano Ronaldo - The Boy that had a Dream' features in-depth interviews with the star, his family, friends and insight into his lifestyle, as well as some of the game's greatest names including Sir Alex Ferguson, Figo, Wayne Rooney and Luiz Felipe Scolari. It shows the Manchester United midfielder at his brilliant best on the football pitch, featuring the star in action for Portugal at the World Cup and the European Championships and him destroying defences and scoring breath-taking goals for Manchester United, as well as going behind closed doors to reveal everything that any football fan wanted to know about one of the game's biggest names.


Download:
http://rapidshare.com/files/92742703/CR7-DVD-RIP.part1.rar
http://rapidshare.com/files/92747404/CR7-DVD-RIP.part2.rar
http://rapidshare.com/files/92752052/CR7-DVD-RIP.part3.rar
http://rapidshare.com/files/92756380/CR7-DVD-RIP.part4.rar
http://rapidshare.com/files/92760071/CR7-DVD-RIP.part5.rar
http://rapidshare.com/files/92763198/CR7-DVD-RIP.part6.rar

Ice Age 3 - Dawn of The Dinosaurs


































Download :
http://rapidshare.com/files/26869004...ing_.part1.rar
http://rapidshare.com/files/26868962...ing_.part2.rar
http://rapidshare.com/files/26868994...ing_.part3.rar
http://rapidshare.com/files/26869046...ing_.part4.rar

Subs (Indonesia) :
http://www.4shared.com/file/127229639/5860a794/Ice_age_3_subtitles__INDO_.html

Harry Potter and The Half Blood Prince



Code:
[FORMAT]:.......................[ .Mkv
[GENRE]:........................[ Adventure | Fantasy | Mystery | Romance
[FILE SIZE]:....................[ 496 MiB
[NO OF CDs]:....................[ 1
[RESOLUTION]:...................[ 704 x 304
[ASPECT RATIO]:.................[ 2.35
[FRAME RATE]:...................[ 25.000 FPS
[LANGUAGE ]:....................[ English
[RUNTIME]:......................[ 2h 18mn
[Subtitles]:....................[ None
[SOURCE]:.......................[ Kingdom Release
Khawatir dengan pengalaman pertemuannya dengan Voldemort di Kementerian Sihir, Harry Potter merasa enggan untuk kembali ke Hogwarts. Dumbledore mendorongnya untuk kembali, setelah mengajaknya untuk menemui seorang mantan guru Hogwarts, Horace Slughorn. Dengan bantuan Harry, ia berhasil membujuk Slughorn agar mau kembali mengajar di Hogwarts.

Sementara itu, Pelahap Maut mulai menimbulkan kerusakan baik di kalangan Muggle (masyarakat manusia biasa non-sihir) maupun Penyihir. Mereka menghancurkan Jembatan Millennium serta menculik pembuat tongkat sihir Mr. Ollivander dan menghancurkan tokonya di Diagon Alley.

Bellatrix Lestrange berhasil membujuk Severus Snape untuk melakukan Sumpah Tak Terlanggar dengan ibu Draco Malfoy, Narcissa. Sumpah ini memastikan agar Snape melindungi Draco dan menyelesaikan tugas yang diberikan Voldemort kepada Draco, jika Draco gagal melakukannya.

Harry, Ron, dan Hermione, ketika sedang berada di Diagon Alley, mengikuti lalu melihat Draco memeasuki toko Borgin and Burkes dan mengambil bagian dalam sebuah ritual bersama kelompok Pelahap Maut. Selanjutnya, ketiga sahabat ini terus mewaspadai tindak-tanduk Draco.

Di Hogwarts, sekolah diamankan secara ketat baik oleh pihak sekolah maupun Kementerian Sihir untuk memastikan agar Pelahap Maut tidak dapat mendekati sekolah tersebut. Dengan kembalinya Slughorn mengajar Ramuan, Snape kini mendapatkan posisi untuk mengajar Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam. Profesor McGonagall mendorong Harry dan Ron untuk mengambil kelas Ramuan, yang kini diajar Slughorn yang mau menerima siswa dengan nilai OWL yang lebih rendah. Harry dan Ron, yang tidak membeli buku teks karena tidak menduga bahwa mereka dapat mengambil kelas itu, dipinjami buku teksnya dari kelas Ramuan.

Buku pinjaman Harry sudah dibubuhi tulisan-tulisan petunjuk yang lebih tepat untuk membuat ramuan dan mantra-mantra lain, dan dengan segera membuat Harry menjadi siswa Ramuan nomor satu melebihi siswa lainnya di kelasnya. Harry menemukan di sampulnya bahwa buku itu pernah dimiliki oleh "Pangeran Berdarah-Campuran". Hermione mencari di perpustakaan namun tidak dapat menemukan apa-apa mengenai nama ini. Setelah mengikuti petunjuk tulisan 'Pangeran Berdarah-Campuran', Harry kemudian berhasil memenangkan hadiah cairan keberuntungan, Felix Felicis, dari Profesor Slughorn karena keberhasilannya membuat sebuah ramuan yang sangat sulit.

Ketika akan mengikuti pertandingan Quidditch, Ron merasa gugup. Harry berbuat seolah-olah ia menambahkan cairan keberutungan ke minuman Ron, untuk menaikkan kepercayaan diri Ron. Akibatnya, Ron sukses besar menjadi kiper Quidditch dari tim Gryffindor, dan mendapatkan cinta Lavender Brown. Keduanya berciuman di pesta perayaan kemenangan Gryffindor di Ruang Rekreasi. Hermione yang melihat ini, lari meninggalkan ruangan itu sambil menangis, diikuti oleh Harry. Kepada Harry, Hermione mengakui bahwa ia memiliki perasaan kepada Ron dan mengerti bagaimana perasaan Harry ketika Ginny, yang ditaksirnya, berciuman dengan Dean Thomas.

Pada liburan Natal, Harry menghabiskan liburannya bersama keluarga Weasley, sambil berdiskusi bersama Mr. Weasley, Remus Lupin, dan Tonks mengenai situasi Hogwarts. Tiba-tiba terjadi serangan Pelahap Maut yang hendak menculik Harry. Mereka berhasil menggagalkan upaya Pelahap Maut itu, namun rumah keluarga Weasley, The Burrows, meledak dan terbakar. Kejadian ini menyebabkan Harry menyesali diri karena dialah yang menimbulkan bahaya kepada orang-orang yang disayanginya.

Dumbledore mengungkapkan memori Tom Riddle—nama asli Voldemort—melalui Pensieve kepada Harry, juga memori Slughorn di mana Riddle menanyakan mengenai suatu Sihir Hitam. Sayangnya memori itu telah diubah Slughorn sehingga tidak diketahui sihir hitam apa yang dibicarakan Slughorn dengan Riddle. Dumbledore mengatakan bahwa Slughorn mungkin takut akan konsekuensinya jika pembicaraan ini terungkap. Dumbledore juga percaya bahwa jika Sihir Hitam yang dibicarakan ini terungkap, maka mereka akan memiliki jalan untuk mengalahkan Voldemort. Karenanya, Dumbledore menyuruh Harry untuk berusaha mendekati Slughorn supaya akhirnya ia mau memberikan memori yang asli.

Dengan menggunakan cairan keberuntungan Felix Felicis yang dimenangkannya pada awal tahun masuk sekolah, Harry 'secara beruntung' berhasil mempertemukan Slughorn dengan Hagrid. Keduanya mabuk setelah upacara penguburan laba-laba raksasa Aragog milik Hagrid, dan Harry berhasil membujuk dan meyakinkan Slughorn untuk memberikan memori yang sesungguhnya.

Memori ini mengungkapkan bahwa Riddle menanyakan mengenai Horcrux, sebuah cara dalam Sihir Hitam untuk membagi jiwa ke dalam Horcrux sehingga pembuatnya tidak dapat mati selama Horcruxnya tidak dihancurkan. Dumbledore mengungkapkan bahwa Buku Harian Riddle (yang dihancurkan Harry pada buku kedua) dan sebuah Cincin milik ibu Voldemort adalah dua dari keenam Horcrux yang dibuat Riddle. Mereka harus mencari seluruh Horcrux dan menghancurkan semuanya supaya Voldemort dapat dikalahkan.

Harry kemudian semakin mencurigai tindak-tanduk Draco, mengikutinya di sekolah, tapi gagal untuk mengetahui apa yang direncanakan oleh Draco. Harry percaya bahwa Draco ada dibalik dua upaya untuk membahayakan hidup Dumbledore: yang pertama melalui kalung mematikan yang dititipkan oleh entah siapa kepada Katie Bell (di bawah Kutukan Imperius) untuk diberikan kepada Dumbledore sebagai hadiah; yang kedua melalui sebuah botol minuman Mead beracun yang hendak dihadiahkan Slughorn, juga terkena kutukan yang sama, kepada Dumbledore. Kejadian yang kedua ini diketahui secara tidak sengaja ketika minuman itu diminum oleh Ron.

Ron kemudian dirawat di rumah sakit, dan ketika sedang tidak sadar, ia mengigaukan nama Hermione di hadapan Lavender, yang langsung patah hati. Setelah insiden ini, Harry memojokkan Draco di sebuah toilet dan bertarung dengannya di sana. Harry menggunakan mantera Sectumsempra, yang pernah dibacanya di buku milik Pangeran Berdarah-Campuran. Mantera itu dengan hebat melukai dan membahayakan jiwa Draco. Snape tiba dengan segera, terbawa oleh Sumpah Tak Terlanggarnya, dan menyembuhkan Draco sementara Harry pergi tergesa-gesa. Ginny meyakinkan Harry untuk menyembunyikan buku itu di Kamar Kebutuhan untuk menghindarkan dirinya dari menggunakan buku itu lagi. Di Kamar itu, mereka menemukan Lemari Penghilang, yang sedang diusahakan perbaikannya oleh Draco, namun baik Harry maupun Ginny sama sekali tidak menyadari mengenainya. Ginny menyembunyikan buku itu dan kemudian berciuman dengan Harry.

Dumbledore mengajak Harry untuk membantunya menemukan salah satu Horcrux lainnya, di sebuah tempat yang baru diketahuinya. Keduanya ber-apparate ke sebuah tebing tepi laut, dan masuk ke sebuah gua tempat Horcrux itu disembunyikan. Di tengah-tengah danau di dalam gua itu terdapat sebuah pulau kristal kecil, dan mereka menemukan sebuah ceruk berisi cairan beracun yang di dasarnya terdapat Horcrux itu. Untuk dapat mengambil Horcruxnya, cairan itu harus diminum. Dumbledore menyuruh Harry untuk memaksa dirinya tetap minum cairan beracun itu, karena ia mengetahui bahwa cairan itu dapat mengubah pikiran. Dumbledore menghabiskan cairan beracun itu dengan dibantu-paksa diminumkan oleh Harry. Setelah habis, sementara Dumbledore memulihkan diri dari cairan itu, Harry meraih Horcrux yang berbentuk kalung liontin potret. Saat itu, sangat banyak Inferi (mayat hidup) bergerak dari dasar danau dan menyerang mereka. Dumbledore berhasil kembali ke kesadarannya tepat pada waktunya dan membakar semua Inferi itu, lalu keduanya ber-apparate kembali ke Menara Astronomi di Hogwarts.

Dumbledore, yang masih lemah akibat minum cairan beracun itu, menyuruh Harry untuk memanggilkan Snape. Namun sebelum Harry sempat pergi, terdengar langkah-langkah kaki dan Dumbledore menyuruh Harry untuk bersembunyi di sisi bawah tingkap Menara itu. Suara langkah kaki itu ternyata adalah Draco, yang bersiap untuk membunuh Dumbledore atas perintah Voldemort, tetapi—dari dalam dirinya—ia tidak dapat melakukannya. Sementara itu, Lemari Penghilang telah berhasil diperbaiki sehingga Bellatrix dan para Pelahap Maut lainnya berhasil memasuki Hogwarts melalui Lemari pasangannya di toko Borgin and Burkes, dan menggabungkan diri dengan Draco di Menara berhadapan dengan Dumbledore. Snape secara diam-diam datang melalui tingkap bawah tempat Harry bersembunyi, memberi isyarat agar Harry tetap diam, lalu naik ke atas dan bergabung dengan Pelahap Maut lainnya. Snape lalu melontarkan kutukan Avada Kedavra terhadap Dumbledore yang langsung membunuhnya. Kutukan itu menghantam Dumbledore dan melempar tubuh Dumbledore jatuh ke bawah dari sisi Menara. Snape, Draco, dan Pelahap Maut lainnya meninggalkan sekolah, Bellatrix melontarkan lambang Pelahap Maut ke atas sekolah, lalu menghancurkan Aula Besar, dan membakar pondok Hagrid sambil tertawa riang.

Harry berusaha untuk menghentikan mereka, dan menyerang Snape menggunakan mantera Sectumsempra. Namun Snape menangkis mantera itu dan berhasil menjatuhkan Harry. Sebelum pergi, Snape mengatakan bahwa dialah pencipta mantera Sectumsempra dan bahwa dialah 'Pangeran Berdarah-Campuran' itu.

Para staf guru dan murid-murid Hogwarts berkabung atas kematian Dumbledore dan Ginny menghibur Harry atas kejadian itu. Ketika ditanya, Harry sama sekali menolak untuk mengatakan kepada Profesor McGonagall mengenai apa yang dilakukannya bersama Dumbledore.

Belakangan, Harry mengungkapkan kepada Ron dan Hermione bahwa Horcrux yang ditemukannya bersama Dumbledore itu adalah palsu, berisikan sebuah pesan dari "R.A.B." yang menyatakan bahwa R.A.B. ini telah mengambil Horcrux itu dan berharap agar Voldemort tidak lagi dapat hidup abadi. Harry memberi tahu kedua rekannya bahwa ia tidak akan kembali ke sekolah pada tahun yang akan datang, dan sebaliknya akan mencari R.A.B. dan Horcrux-Horcrux lainnya supaya Voldemort pada akhirnya dapat dibinasakan. Ron dan Hermione mengingatkan Harry bahwa mereka adalah sahabat-sahabatnya dan mereka akan turut pergi bersama Harry dalam misinya itu.

Film ini diakhiri dengan ketiga sahabat itu melihat Fawkes, burung Phoenix milik Dumbledore, terbang menjauh dari batas sekolah Hogwarts.

Download :

http://www.indowebster.com/Harry_Pot...Rip_450MB.html

Subs :

http://www.indowebster.com/HalfBloodPrincesrt.html

Transformers 2 - Revange of the Fallen



Download:
http://www.indowebster.com/Transform...SSversion.html

Subs (Indonesia) :
http://www.opensubtitles.org/en/subtitles/3543312/transformers-revenge-of-the-fallen-id

Down Fall



AVI File Details
=========================================
Name.........: The.Downfall.(Der.Untergang).DVDrip.XviD-contempt.avi
Genre:.......: Drama / History / War
Source.......: DVDrip
MPAA.........: Rated R for strong violence, disturbing images and some nudity.
Filesize.....: 700 MB (or 717,278 KB or 734,492,746 bytes)
Runtime......: 02:28:58 (223,458 fr)
Video Codec..: XviD
Video Bitrate: 523 kb/s
Audio Codec..: 0x0055(MP3) ID'd as MPEG-1 Layer 3
Audio Bitrate: 128 kb/s (64/ch, stereo) CBR
Resolution...: 608x336 (1.81:1) [=38:21]
Language.....: German / Russian (English subs hardcoded)
IMDB Rating..: 8.5/10 (38,095 votes)


DOWNLOAD:
http://rapidshare.com/files/45915521/Downfall-c.part1.rar
http://rapidshare.com/files/45921276...ll-c.part2.rar
http://rapidshare.com/files/45927266...ll-c.part3.rar
http://rapidshare.com/files/45932863...ll-c.part4.rar
http://rapidshare.com/files/45938581...ll-c.part5.rar
http://rapidshare.com/files/45943666...ll-c.part6.rar
http://rapidshare.com/files/45947559...ll-c.part7.rar



PASS :
contempt

Laskar Pelangi




Sinopsis :
Sebuah adaptasi sinema dari novel fenomenal LASKAR PELANGI karya Andrea Hirata, yang mengambil setting di akhir tahun 70-an.

Hari pertama pembukaan kelas baru di sekolah SD Muhammadyah menjadi sangat menegangkan bagi dua guru luar biasa, Muslimah (Cut Mini) dan Pak Harfan (Ikranagara), serta 9 orang murid yang menunggu di sekolah yang terletak di desa Gantong, Belitong. Sebab kalau tidak mencapai 10 murid yang mendaftar, sekolah akan ditutup.

Hari itu, Harun, seorang murid istimewa menyelamatkan mereka. Ke 10 murid yang kemudian diberi nama Laskar Pelangi oleh Bu Muslimah, menjalin kisah yang tak terlupakan.

5 tahun bersama, Bu Mus, Pak Harfan dan ke 10 murid dengan keunikan dan keistimewaannya masing masing, berjuang untuk terus bisa sekolah. Di antara berbagai tantangan berat dan tekanan untuk menyerah, Ikal (Zulfani), Lintang (Ferdian) dan Mahar (Veris Yamarno) dengan bakat dan kecerdasannya muncul sebagai pendorong semangat sekolah
mereka.

Di tengah upaya untuk tetap mempertahankan sekolah, mereka kembali harus menghadapi tantangan yang besar. Sanggupkah mereka bertahan menghadapi cobaan demi cobaan?

Film ini dipenuhi kisah tentang kalangan pinggiran, dan kisah perjuangan hidup menggapai mimpi yang mengharukan, serta keindahan persahabatan yang menyelamatkan hidup manusia, dengan latar belakang sebuah pulau indah yang pernah menjadi salah satu pulau terkaya di Indonesia.

Crew :
Director : Riri Riza
Producer : Mira Lesmana
Screen Writer : Salman Aristo
Co-Writers : Mira Lesmana & Riri Riza
Line Producer : Toto Prasetyanto
Executive Producers : Bachtiar Rachman
Associate Producers : Putut Widjanarko & Avesina Soebroto
Director Of Photography : Yadhi Sugandhi
Art Director : Eros Eflin
Editor : Dono WaluyoSound : Budeng & Satrio Budiono
Music Score : Aksan & Titi Syuman
Costume : Chitra Soebijakto
Casting Director (for Belitong Cast) : Ismaya Nugraha
Casting Coordinator : Nanda Giri
Assistant Directors : Titien Watimena, Rivano setyo Utama, Ismaya Nugraha

Cast :
Ibu Muslimah : Cut Mini
Pak Harfan : Ikranagara
Pak Mahmud : Tora Sudiro
Pak Zulkarnaen : Slamet Raharjo
Bapak Ikal : Mathias Muchus
Ibu Ikal : Rieke Diah Pitaloka
Pak Bakri : Teuku Rifnu Wikana
Ikal (dewasa) : Lukman Sardi
Lintang (dewasa) : Ario Bayu
Alex Komang, Jajang C.Noer,Robbie Tumewu.
Ikal : Zulfanny
Mahar : Verrys Yamarno
Lintang : Ferdian
Kucai : Yogi Nugraha
Syahdan : M.Syukur Ramadan
A Kiong : Suhendri
Borek : Febriansyah
Harun : Jeffry Yanuar
Trapani : Suharyadi Syah Ramadhan
Sahara : Dewi Ratih Ayu Safitri
Flo : Marchella El Jolla Kondo
A Ling : Levina

Code:
www.indowebster.com/Laskar_Pelangi_DVDRIP_Part_01.html
www.indowebster.com/Laskar_Pelangi_DVDRIP_Part_02.html
Rapidshare :
Code:
http://rapidshare.com/files/213660185/Laskar.Pelangi.DVDRip.DivX5.AC3-www.indomp3z.us.part01.rar
http://rapidshare.com/files/213660684/Laskar.Pelangi.DVDRip.DivX5.AC3-www.indomp3z.us.part02.rar
http://rapidshare.com/files/213660203/Laskar.Pelangi.DVDRip.DivX5.AC3-www.indomp3z.us.part03.rar
http://rapidshare.com/files/213660215/Laskar.Pelangi.DVDRip.DivX5.AC3-www.indomp3z.us.part04.rar
http://rapidshare.com/files/213660699/Laskar.Pelangi.DVDRip.DivX5.AC3-www.indomp3z.us.part05.rar
http://rapidshare.com/files/213660479/Laskar.Pelangi.DVDRip.DivX5.AC3-www.indomp3z.us.part06.rar
http://rapidshare.com/files/213660793/Laskar.Pelangi.DVDRip.DivX5.AC3-www.indomp3z.us.part07.rar
http://rapidshare.com/files/213660615/Laskar.Pelangi.DVDRip.DivX5.AC3-www.indomp3z.us.part08.rar
http://rapidshare.com/files/213660574/Laskar.Pelangi.DVDRip.DivX5.AC3-www.indomp3z.us.part09.rar
http://rapidshare.com/files/213660706/Laskar.Pelangi.DVDRip.DivX5.AC3-www.indomp3z.us.part10.rar
http://rapidshare.com/files/213660537/Laskar.Pelangi.DVDRip.DivX5.AC3-www.indomp3z.us.part11.rar
http://rapidshare.com/files/213659959/Laskar.Pelangi.DVDRip.DivX5.AC3-www.indomp3z.us.part12.rar
Megaupload :
Code:
http://www.megaupload.com/?d=HWP6ZGRM
http://www.megaupload.com/?d=GMXIG7YR
http://www.megaupload.com/?d=98IVOR5K
http://www.megaupload.com/?d=XHYJVFEV
http://www.megaupload.com/?d=MN83FIOQ
http://www.megaupload.com/?d=OU4JLII0
http://www.megaupload.com/?d=0G7C2ZU8
http://www.megaupload.com/?d=18W4Z08C
http://www.megaupload.com/?d=NXWDOGWT
http://www.megaupload.com/?d=XUV71L52
http://www.megaupload.com/?d=BLVUOEK8
http://www.megaupload.com/?d=FHDFQV1I
Easy-share :
Code:
http://www.easy-share.com/1904198219/Laskar.Pelangi.DVDRip.DivX5.AC3-www.indomp3z.us.part01.rar
http://www.easy-share.com/1904198233/Laskar.Pelangi.DVDRip.DivX5.AC3-www.indomp3z.us.part02.rar
http://www.easy-share.com/1904198244/Laskar.Pelangi.DVDRip.DivX5.AC3-www.indomp3z.us.part03.rar
http://www.easy-share.com/1904198246/Laskar.Pelangi.DVDRip.DivX5.AC3-www.indomp3z.us.part04.rar
http://www.easy-share.com/1904198263/Laskar.Pelangi.DVDRip.DivX5.AC3-www.indomp3z.us.part05.rar
http://www.easy-share.com/1904198265/Laskar.Pelangi.DVDRip.DivX5.AC3-www.indomp3z.us.part06.rar
http://www.easy-share.com/1904198273/Laskar.Pelangi.DVDRip.DivX5.AC3-www.indomp3z.us.part07.rar
http://www.easy-share.com/1904198291/Laskar.Pelangi.DVDRip.DivX5.AC3-www.indomp3z.us.part08.rar
http://www.easy-share.com/1904198293/Laskar.Pelangi.DVDRip.DivX5.AC3-www.indomp3z.us.part09.rar
http://www.easy-share.com/1904198309/Laskar.Pelangi.DVDRip.DivX5.AC3-www.indomp3z.us.part10.rar
http://www.easy-share.com/1904198317/Laskar.Pelangi.DVDRip.DivX5.AC3-www.indomp3z.us.part11.rar
http://www.easy-share.com/1904198325/Laskar.Pelangi.DVDRip.DivX5.AC3-www.indomp3z.us.part12.rar
Enterupload :
Code:
http://www.enterupload.com/hp39dfpm3swc/Laskar.Pelangi.DVDRip.DivX5.AC3-www.indomp3z.us.part01.rar.html
http://www.enterupload.com/6ttddrg6b58b/Laskar.Pelangi.DVDRip.DivX5.AC3-www.indomp3z.us.part02.rar.html
http://www.enterupload.com/pnd0fha8l70h/Laskar.Pelangi.DVDRip.DivX5.AC3-www.indomp3z.us.part03.rar.html
http://www.enterupload.com/x6hpp27nzwz4/Laskar.Pelangi.DVDRip.DivX5.AC3-www.indomp3z.us.part04.rar.html
http://www.enterupload.com/cisouxo7pf0s/Laskar.Pelangi.DVDRip.DivX5.AC3-www.indomp3z.us.part05.rar.html
http://www.enterupload.com/yaar9n5kg3jl/Laskar.Pelangi.DVDRip.DivX5.AC3-www.indomp3z.us.part06.rar.html
http://www.enterupload.com/7yz3i634sm4r/Laskar.Pelangi.DVDRip.DivX5.AC3-www.indomp3z.us.part07.rar.html
http://www.enterupload.com/g6uemmyrr3ry/Laskar.Pelangi.DVDRip.DivX5.AC3-www.indomp3z.us.part08.rar.html
http://www.enterupload.com/b2f2n1tqjni2/Laskar.Pelangi.DVDRip.DivX5.AC3-www.indomp3z.us.part09.rar.html
http://www.enterupload.com/ci6sssr5098e/Laskar.Pelangi.DVDRip.DivX5.AC3-www.indomp3z.us.part10.rar.html
http://www.enterupload.com/zuuppsizczay/Laskar.Pelangi.DVDRip.DivX5.AC3-www.indomp3z.us.part11.rar.html
http://www.enterupload.com/sieyje37xovw/Laskar.Pelangi.DVDRip.DivX5.AC3-www.indomp3z.us.part12.rar.html

Mysteries of Egypt

























Egypt is and ever was a place of mystery. Many rumors spread around the great Pyramids of Gizeh (the only one of the seven wonders of the world left), their age ranges - in different theories - between 3,000 and even 12,000 years. Here, an old Egyptian is asked by his granddaughter about those mysteries of which we all heard in one way or the other. The action takes us to Howard Carter, who, after years and years of searching, finally found King Tutankhamen's (Tut-ench-Amun) grave in 1922. This was a major event in archaeology, as this grave was never robbed and therefore in the same condition as it was left (est.) 1339 B.C. We also get to see the Nile's wells and other historic landmarks that make Egypt an important part of world history.




Download Link :

-SendSpace
http://www.sendspace.com/file/bcz5qx
http://www.sendspace.com/file/z9336t
http://www.sendspace.com/file/ktx79e
http://www.sendspace.com/file/swnup4
http://www.sendspace.com/file/l8r4qd
Password : knobble

-RapidShare

Code:
http://rapidshare.com/files/29153370/Imax_Mysteries_Of_Egypt.part01.rar
http://rapidshare.com/files/29159654/Imax_Mysteries_Of_Egypt.part02.rar
http://rapidshare.com/files/29165173/Imax_Mysteries_Of_Egypt.part03.rar
http://rapidshare.com/files/29170034/Imax_Mysteries_Of_Egypt.part04.rar
http://rapidshare.com/files/29174250/Imax_Mysteries_Of_Egypt.part05.rar
http://rapidshare.com/files/29178595/Imax_Mysteries_Of_Egypt.part06.rar
http://rapidshare.com/files/29181777/Imax_Mysteries_Of_Egypt.part07.rar
http://rapidshare.com/files/29335477/Imax_Mysteries_Of_Egypt.part08.rar
http://rapidshare.com/files/29336521/Imax_Mysteries_Of_Egypt.part09.rar
Password : knobble

Moonwalker 1988 DVDRip XViD











































Download :
http://netload.in/dateix3rEaPxvVt/Mo....part4.rar.htm
http://netload.in/dateiYQ7t4PSd1D/Mo....part3.rar.htm
http://netload.in/dateijQJDpsX8ab/Mo....part1.rar.htm
http://netload.in/dateim3koMTdW3S/Mo....part2.rar.htm

OR
http://hotfile.com/dl/7666900/20870b...part1.rar.html
http://hotfile.com/dl/7666902/03200a...part2.rar.html
http://hotfile.com/dl/7666897/a9f34b...part3.rar.html
http://hotfile.com/dl/7666899/b4ed5d...part4.rar.html

OR
http://vip-file.com/download/0836.08....XViD.avi.html

Note : Type The Password , Don't copy & paste .
Password : irfree.com

Perempuan Berkalung Sorban

































Synopsis :
Ini adalah sebuah kisah pengorbanan seorang perempuan, Seorang anak kyai Salafiah sekaligus seorang ibu dan isteri. Anissa (Revalina S Temat), seorang perempuan dengan pendirian kuat, cantik dan cerdas. Anissa hidup dalam lingkungan keluarga kyai di pesantren Salafiah putri Al Huda, Jawa Timur yang konservatif. Baginya ilmu sejati dan benar hanyalah Qur’an, Hadist dan Sunnah. Buku modern dianggap menyimpang

Dalam pesantren Salafiah putri Al Huda diajarkan bagaimana menjadi seorang perempuan muslim dimana pelajaran itu membuat Anissa beranggapan bahwa Islam membela laki-laki, perempuan sangat lemah dan tidak seimbang

Tapi protes Anissa selalu dianggap rengekan anak kecil. Hanya Khudori (Oka Antara), paman dari pihak Ibu, yang selalu menemani Anissa. Menghiburnya sekaligus menyajikan ‘dunia’ yang lain bagi Anissa. Diam-diam Anissa menaruh hati kepada Khudori. Tapi cinta itu tidak terbalas karena Khudori menyadari dirinya masih ada hubungan dekat dengan keluarga Kyai Hanan (Joshua Pandelaky), sekalipun bukan sedarah. Hal itu membuat Khudori selalu mencoba membunuh cintanya. Sampai akhirnya Khudori melanjutkan sekolah ke Kairo. Secara diam-diam Anissa mendaftarkan kuliah ke Jogja dan diterima tapi Kyai Hanan tidak mengijinkan, dengan alasan bisa menimbulkan fitnah, ketika seorang perempuan belum menikah berada sendirian jauh dari orang tua. Anissa merengek dan protes dengan alasan ayahnya.

Akhirnya Anissa malah dinikahkan dengan Samsudin (Reza Rahadian), seorang anak Kyai dari pesantren Salaf terbesar di Jawa Timur. Sekalipun hati Anissa berontak, tapi pernikahan itu dilangsungkan juga. Kenyataan Samsudin menikah lagi dengan Kalsum (Francine Roosenda). Harapan untuk menjadi perempuan muslimah yang mandiri bagi Anissa seketika runtuh

Dalam kiprahnya itu, Anissa dipertemukan lagi dengan Khudori. Keduanya masih sama-sama mencintai.…

Apakah cinta anissa dan Khudori berakhir di pernikahan? Bagaimana hubungan Anissa dan kedua orang tuanya dan Samsudin suaminya? Apakah Anissa dapat menjadi muslimah seperti yang diinginkan orang tuanya?

Download :
Part 1(Rapidshare) :




Part 2 (Rapidshare) :




Atau :

Indowebster :




PASS : www.moviedb.asia

Trik Keramik Apik

Sudah menemukan jenis keramik yang pas? Kini tiba saatnya, kita perlu mengetahui cara yang tepat untuk merawat keramik dari 3 masalah umum sebagai berikut.

1. Warna pudar. Biasanya masalah ini disebabkan oleh noda cairan yang tumpah ke atas keramik atau penggunaan produk pembersih yang terlalu keras.
Cara mengatasi: Untuk keramik dengan finishing gold atau silver, kita membersihkannya cukup dengan menggunakan lap basah. Jika ingin memakai cairan pembersih, pastikan produk yang kita pakai mengandung zat kimia yang tidak terlalu keras dan lebih bagus lagi kalau mempunyai zat pelindung warna.

2. Jamuran. Buruknya kualitas keramik yang mudah menyerap air dan suhu udara yang lembab merupakan faktor utama yang menyebabkan lantai keramik kita mudah berjamur .
Cara mengatasi : Buatlah formula “ajaib” pembasmi jamur dengan mencampuran satu sendok bubuk kristal (bisa dibeli di toko kimia) dan ¼ air dalam ember kecil. Gunakan spon dan celupkan ke dalam larutan kristal yang telah kita buat tadi. Lalu, gosokan ke satu arah pada keramik yang berjamur. Jika jamur membandel, tambahkan takaran bubuk kristal dalam larutan mejadi dua sendok.

3. Lantai keramik terlepas, diakibatkan oleh rencana pemasangan yang kurang matang atau “usia” pemakaian keramik yang sudah terlalu lama.
Cara mengatasinya : gantilah dengan keramik yang baru. Gunakan takaran adonan pasir dan semen yang pas sebelum melakukan pemasangan. Jangan lupa, perhatikan pula struktur bangunan dan pergeseran tanah pada rumah kita.

Tip : Cegah terjadi goresan pada keramik dengan pemilihan alat pembersih yang tepat. Dan, cara paling sederhana adalah dengan menyapu dan mengepel lantai keramik menggunakan pel poliester atau spons (sponge mop). Kenapa? Karena penggunaan pel polyester memungkinkan kita langsung mengepel tanpa harus menyapu lantai terlebih dahulu, sedangkan pel spon memiliki keunggulan dari sisi bahan yang lembut dan relatif lebih murah.

Rimbi


Oleh: Gunawan Maryanto

LANG, PULANG. LENDHUT MATI. DIBAKAR ORANG. (PAPA)
Pesan singkat itu terlambat sampai padaku. Menyelinap di antara setumpuk pesan pekerjaan dan omong kosong. Entah dari mana Papa mendapatkan nomorku. Tak ada waktu untuk mempertanyakannya.

Oke. Aku pulang.
Hanya ada dua hal di kepalaku selama perjalanan. Papa dan Lendhut. Tapi dua hal itu sudah terlalu banyak untuk jarak tempuh yang rasanya sangat pendek ini. Mereka datang bergantian dan tak jarang saling tabrak seperti hendak merebutku dari gerbong kereta. Sementara Dixie Chicks di telingaku terus mengulang lagu tentang rumah yang jauh dan padang-padang rumput. Mereka semua pada akhirnya membuatku tak berada di mana-mana.

Aku meninggalkan rumah ketika ia sudah tak mendapat tempat lagi dalam kepalaku, demikian pula sebaliknya. Aku pergi beberapa hari sebelum ujian akhir di SMA-ku berlangsung. Beberapa hari sebelum pernikahan Papa dirayakan. Sepuluh tahun yang lalu.

Malam itu dengan sengaja aku merokok di depannya dengan harapan ia segera menamparku dan aku tak butuh lagi alasan buat pergi. Tapi ia cuma duduk diam di seberang meja. Ia bahkan tak menatapku. Mungkin aku hanya segulung asap tembakau.

Asap itu dengan cepat melesat dibawa angin ke tanah lapang. Mengental dan terpantul-pantul di rumputan yang tak rata dan sepasang kaki cokelat tua tanpa sepatu, entah datang dari mana, segera menyambutnya. Sepasang kaki itu dengan lincah memainkannya. Menggiring dan menjadikannya bola sepenuhnya.

Lendhut! Aku berteriak. Aku seperti mengenalnya. Sepasang kaki itu berhenti sebentar dan kemudian berlari mendekatiku. Hingga sepasang kaki itu berdiri tegak tepat di mukaku. Aku tahu itu Lendhut. Tapi bagaimana aku bisa memastikannya jika hanya sepasang kaki saja yang sanggup kulihat. Aku mendongak. Hanya langit.

Tak ada sms. Aku pesan kopi panas. Cirebon sudah lewat. Aku menggosok-gosok mataku yang pedih. Siapa yang membakarmu, Ndhut? Bagaimana mereka melakukannya? Aku berusaha mengingat seluruh hal tentang dirimu. Tapi hanya sanggup mengingat sepasang kakimu. Yang menggiring bola di tanah lapang. Dan yang mengayuh sepeda memboncengkanku pulang-pergi sekolah. Bagian dirimu yang lain, entah siapa yang telah merebutnya dariku? Atau aku memang telah meninggalkannya malam itu?

Kata Papa, Lendhut masih terhitung saudaraku. Bapak Lendhut adalah anak emas Yang Kung meski ia bukan anak kandungnya. Separuh tanah Yang Kung seluas seperempat kampung diberikan begitu saja pada Pakde Gito. Tapi tiga tahun kemudian tanah itu telah sama sekali bukan milik salah satu dari kami. Digadaikan Pakde di meja judi dan tak pernah tertebus lagi. Lalu mereka sekeluarga pindah sampai beberapa tahun kemudian Lendhut datang dan tidur di kamarku. Aku sudah lima tahun waktu itu. Dan ia tak pernah pergi-pergi lagi sampai aku pergi malam itu.

Jam enam pagi aku sampai di Jogja. Aku buru-buru masuk taksi dan taksi sudah serupa becak di kota ini -tawar-menawar harga, aku tak peduli. Aku pingin segera sampai rumah dan bertemu Lendhut.

Aku hampir-hampir tak mengenali lagi rumahku. Tiga buah tenda dipasang memanjang di jalan depan rumah. Kursi-kursi lipat dan orang-orang yang mesti kukenali lagi meski sebagian dari mereka langsung mengenalku begitu aku mendekat.

"Kapan datang, Lang?"
"Barusan. Mana Lendhut?"
"Masih di rumah sakit. Sebentar lagi paling sudah dibawa kemari. Aku juga belum lihat."

"Remuk, Lang," tambah Parlin. Atau Parmin. Aku tak yakin. "Aku tak bisa percaya bahwa tubuh hangus itu Lendhut."
"Persis lendhut tenan (lumpur beneran)!" celetuk seseorang di pojokan. Semua tertawa.

Jadi aku tak mendapat apa-apa. Selain kelakar dan Lendhut dibakar orang hingga mati di terminal. Sebagian bilang Lendhut maling. Sebagian bilang Lendhut berteman dengan maling. Tak penting. Yang penting Lendhut telah mati dengan cara maling.

Aku masuk ke dalam mencari Papa.
"Papamu ke rumah sakit," kata seseorang tanpa kutanya. Aku menuju bekas kamarku. Tak ada yang berubah. Seolah aku baru saja meninggalkannya tadi malam. Kuletakkan tas dan bergegas ke kamar mandi. Kamar mandi yang mengingatkanku pada kematian yang lain.

Kamar mandi menyembunyikanku dari kabar kematian. Memelukku dengan dingin seperti tengah berkeras menenangkanku. Dan seluruh peristiwa di hari itu, tepat di ulang tahunku yang keduabelas, seperti berlangsung dalam air. Lambat, tenang dan dingin. Aku tak sedikit pun ingin menangis.

Aku bangun kesiangan dan menemukan rumah sudah kosong. Selembar kertas di meja belajar: Papa dan Mama ke rumah sakit. Kalau lapar datang saja ke rumah Yang Ti. Papa.

Aku segera ke rumah Yang Ti, bukan karena lapar, tapi pingin tahu apa yang tengah terjadi sepanjang aku tidur. Tadi malam aku tak sempat ketemu Mama. Ketika Papa menjemputku dari sekolah, setelah seharian aku dan teman-teman sekelasku pergi ke Demak, Kudus dan Jepara, ia sudah tidur dalam kamarnya.

Yang Ti segera menyiapkan sarapan begitu tahu aku datang.
"Bapakmu ngantar Ibumu ke rumah sakit. Kau akan segera punya adik."

Aku jadi lapar dan segera ke meja makan. Brongkos dan telur rebus hangat. Di tengah-tengah aku makan Papa datang membawa tas pakaian Mama. Ia langsung mengajak Yang Ti ke belakang.

"Adik gimana, Pa?"
Papa tersenyum. Sedikit aneh. "Kamu maem yang banyak, ya," katanya. Aku sempat melihat ada bercak darah di tas itu. Aku melanjutkan makan tapi mulutku tak merasakan apa-apa. Aku mengambil nasi lagi.

Selesai aku makan rumah Yang Ti sudah penuh orang. Tetangga-tetanggaku. Aku tak tahu apa yang tengah mereka kerjakan. Tapi menurutku mereka tengah mempersiapkan sebuah perayaan. Papa mengecup keningku dan pergi lagi. Ke rumah sakit njemput Mama dan adik, katanya. Aku sedikit tak percaya.

Untung tak pernah ada yang rahasia bagi para tetangga. Dari mereka aku dengar adikku meninggal begitu dilahirkan. Dan Mama masih dirawat di rumah sakit. Aku pulang ke rumah sendirian. Mengunci diri di kamar mandi.

Sirene ambulan dan suara orang-orang. Suara kursi lipat dilipat dan disingkirkan. Suara orang mengaji. Aku masih bertahan di kamar mandi. Telanjang bulat sambil mengingat-ingat wajah Lendhut. Tapi wajah itu sudah terbakar jauh sebelum orang-orang di terminal itu membakarnya. Sekali lagi hanya sepasang kaki yang datang dan mengajakku berlari di tanah lapang.

"Lang. Lang!" suara Papa terdengar lebih tua dari yang seharusnya. Aku mengambil sebungkus rokok dari saku celana yang tergantung di pintu kamar mandi. Menyalakannya sebatang dan mengembalikan sisanya ke tempat semula.

"Sebentar, Pa. Aku belum bersiap menemui kalian."
Kamar mandi berkabut. Aku seperti berendam di Sipoholon. Sebuah tempat terjauh yang sanggup aku bayangkan sebagai pelarian.

"Lang, ikut sholat jenazah, nggak?" suara Papa memanggilku kembali.
Aku sholat bersama Lendhut. Di depan kami, tubuh Mama terbaring tenang diselimuti rapat-rapat kain batik Yang Ti. Ini adalah sholat jenazahku yang pertama. Tapi apa yang diajarkan Pak Budi, guru agama SD-ku, sama sekali tak berguna. Aku lupa seluruh bacaan dan tata caranya. Jadi aku hanya berdiri diam dan bersedekap sambil terus mengulang Al Fatihah. Kulirik Lendhut. Ia juga tak jauh berbeda.

Kami selesai ketika Papa berbisik di telingaku, "Lang, sholatnya sudah. Mamamu sudah mau berangkat."
"Lang, cepat. Lendhut sebentar lagi diberangkatkan." Aku memaksa diriku keluar. Ruangan tengah masih penuh pelayat. Aku menyelinap mendekati jenazah Lendhut. Papa tak ada di sana.

Lendhut terbujur di keranda, diselimuti kain hijau kusam dan huruf-huruf Arab yang tak terbaca lagi. Aku berdiri tepat di sebelah kepalanya. Berdoa setenang-tenangnya. Aku tak tahu telah berapa lama berdiri seperti ini. Juga berapa lama orang-orang itu telah bersabar menungguku selesai. Aku merasa baru saja selesai bermain bersama Lendhut. Berlarian di kebun belakang sambil memunguti rontokan melinjo di tanah dan membakarnya di tungku Yang Ti.

Seseorang menggamit tanganku dan menarikku ke belakang. Ia terus memegang tanganku. Beberapa lelaki muda segera bersiap di sisi-sisi keranda. Tanpa aba-aba mereka mengusung keranda itu keluar. Seluruhnya berlangsung dalam ketenangan yang luar biasa. Baru ketika keranda itu keluar aku menoleh pada seseorang yang masih memegang erat tanganku. Arimbi. Gusti Allah, kenapa demikian mudah aku melupakannya?

Arimbi adalah seorang raksesi, kata Mamaku. Raksasa putri. Maka ketika ada seorang gadis cilik memperkenalkan dirinya sebagai Arimbi aku langsung merasa diriku adalah Bima yang sedang dikejar-kejarnya. Bima yang seluruh tubuhnya merinding karena jijik dan takut. Tapi Lendhut sangat baik padanya. Mungkin ia adalah Kresna, si hitam, yang menjadi penghubung pertemanan kami.

Ia dan keluarganya tinggal di rumah seberang kebun belakang kami. Belum lama pindah dari kota. Ia tak punya saudara, katanya, tapi aku merasa ia punya banyak saudara. Paling tidak ia punya seorang kakak bernama Arimba. Dan ia menangis ketika pertama kali kubilang raksesi.

Tapi siang berikutnya ia sudah duduk di batu pagar melihat aku dan Lendhut bermain kelereng. Dua siang berikutnya ia sudah ikut bermain bersama kami. Lalu tanpa direncanakan kami menjadi tiga sekawan yang sepertinya tak akan terpisahkan. Bima-Arimbi-Kresna. Kebun belakang menjelma hutan Pringgandani. Semuanya harus tunduk pada perintah kami, kecuali tukang tebas melinjo. Selain membawa pisau, ia juga berani memanjat pohon melinjo. Kata Yang Ti, siapa pun yang jatuh dari pohon melinjo, serendah apa pun, ia tak akan selamat. Jadi mereka, sepasang suami istri yang selalu datang dengan sepeda dan karung plastik, adalah orang sakti, karena tak pernah jatuh dari pohon melinjo. Jadi kami hanya melihatnya dari bawah sambil mengumpulkan melinjo yang jatuh terlalu jauh dari pohonnya. Hanya merekalah, melinjo-melinjo yang kebanyakan masih hijau itu, hak kami selaku penguasa di sini.

"Mbi." Ia tertunduk. Aku hampir-hampir tak mengenalnya. Tangannya gemetar seperti menahan sesuatu. Sesuatu yang terus berjatuhan dari dalam tubuhnya. Sesuatu yang datang dari sebuah tempat bernama Pringgandani.

Kami, aku dan Rimbi pernah menikah suatu kali di kebun belakang. Lendhut merangkai mahkota dari daun nangka pertanda ia merestui pernikahan kami.

"Mbi, kenapa diam? Lendhut sebentar lagi berangkat. Kamu ikut mengantar, kan?"

Sesuatu terus berjatuhan dari dalam perutnya.
"Tidak, Lang. Kami tak akan ke mana-mana."
Jogjakarta, 2002/2004

Simpang Ajal


Cerpen Satmoko Budi Santoso

SELESAI sudah tugas Montenero. Karenanya, kini ia tinggal bunuh diri. Bunuh diri! Itu saja. Betapa tidak! Ia telah membunuh tiga orang itu sekaligus. Ya, tiga orang. Santa, orang yang dengan serta-merta memenggal kepala bapaknya ketika bapaknya menolak menandatangani selembar kertas yang berisi surat perjanjian untuk terikat dengan sebuah partai. Lantas Denta, yang ketika pembunuhan itu terjadi berusaha membungkam mulut bapaknya agar tidak berteriak, serta Martineau yang mengikatkan tali pada tubuh bapaknya agar bapaknya tak bergerak sedikit pun menjelang kematiannya. Karena itu, sekarang, Montenero sendiri tinggal bunuh diri!

"Selamat malam, Montenero. Sebaiknya kamu kubur dulu ketiga mayat itu baik-baik! Setelah itu, terserah!" ucap batin Montenero, meronta.

"Ya, kubur dulu! Lantas, selamat tinggal!" sisi kedirian batin Montenero yang lain menimpali.

Sesungguhnya Montenero memang tidak perlu menjumput beragam kebijaksanaan untuk sesegera mungkin mengubur mayat-mayat itu. Toh memang, tugas pembantaiannya telah usai. Dan dengan sendirinya, dendam yang bersemayam di dalam dirinya lunas terbalaskan.

"Tetapi, semestinya engkau mempunyai cukup rasa kemanusiaan untuk tidak membiarkan mayat-mayat itu menggeletak begitu saja karena kau bunuh! Kasihan tubuh mereka menggeletak! Semestinya jika dengan cepat mereka menjadi makanan belatung-belatung menggiriskan di dalam tanah. Bukan menjadi makanan empuk bagi lalat-lalat hijau!" Belati, yang telah menikam dada Santa, Denta, dan Martineau masing-masing sebanyak enam kali, yang sepertinya sangat tahu berontak batin Montenero, ikut angkat bicara.

Montenero menghela napas. Menggeliat.
"Ah, benar. Sudah semestinya. Sekarang, engkau harus bisa membebaskan pikiranmu dari angan-angan tentang balas dendam. Ingat, ketiga mayat itu telah menjadi seonggok daging yang tak berarti. Harus dikubur! Engkau harus mengubah pola pikir yang begitu konyol itu, Montenero," cecar sebilah Pedang, yang rencananya ia gunakan juga untuk membunuh, tetapi Santa, Denta, dan Martineau ternyata cukup memilih mati cuma dengan sebilah Belati.

"Oh ya. Ya. Aku ingat lagi sekarang. Engkau harus mempersiapkan banyak keberanian agar kau menjadi tidak gagu dalam bersikap. Jangan seperti ketika kau akan membunuh! Kau hunjamkan diriku ke dada ketiga mayat itu dengan gemetar. Sekarang, untuk menguburkan ketiga mayat itu, tak perlu ada denyut ragu yang berujung gemetaran badan, desah napas memburu, suara terengah-engah, dan keringat dingin yang keluar berleleran. Semua itu harus diubah. Dengan segera!"

Montenero melirik jam tangan. Kurang tiga puluhan menit kokok ayam bakalan meletup kejut. Ia menghapus keringat dingin yang perlahan-lahan tapi pasti mulai membanjiri muka dan tangannya.

"Cepat lakukan! Keberanian telah datang dengan sendirinya. Lakukan!"
Angin pagi mendesir. Jam tangan terus berdetak. Montenero pucat. Lunglai. Apa yang dikatakan oleh Belati dan Pedang itu ada benarnya. Tak ada kebijaksanaan lain menjelang pagi hari itu kecuali penguburan. Tentu saja, penguburan dengan segala kelayakannya. Ada dupa, bunga, kain pembungkus mayat, dan pastilah keberanian. Untuk yang terakhir, soal keberanian itu memang sudah sedikit dimiliki Montenero. Tetapi, untuk dupa, bunga, dan juga sesobek kain pembungkus mayat? Atau, pikiran tentang sesobek kain pembungkus mayat sungguh tak diperlukan lagi?

"Ah, begitu banyak pertimbangan kau! Ambillah cangkul! Gali tanah yang cukup untuk mengubur ketiga mayat itu sekaligus. Cepat! Tunggu apa lagi, ha?! Ayo, berikan kelayakan kematian kepada Santa, Denta, dan Martineau. Setidaknya, agar ruh mereka bisa sedikit tertawa di alam baka sana. Cepat Montenero! Waktu tinggal sebentar! Masih ada tugas-tugas lain yang harus kau panggul untuk mencipta sejarah. Sejarah, Montenero! Jangan main-main! Cepat! Ayo, dong. Cepat!!!"

Montenero diam. Terpaku. Ia sebenarnya memang tidak perlu mempertimbangkan apa-apa lagi kecuali segera mengubur ketiga mayat itu serapi mungkin, agar paginya tidak sia-sia karena dikorek-korek anjing. Lantas, selesai! Sejarah baru tergores. Bapaknya yang mati sangat mengenaskan dengan kepala terpenggal dari tubuhnya, terbalas sudah. Meskipun kematian Santa, Denta, dan Martineau tidak sempurna seperti kematian bapaknya, tetapi setidaknya mati. Itu saja. Karena hanya sisa keberanian itulah yang dimilikinya. Kebetulan memang juga mati, bukan? Tuntaslah cerita ibunya yang selalu membekas dalam ingatan dan membuatnya selalu berpikir dan bersikap semirip orang sableng.

Montenero memutuskan mengambil cangkul. Belati dan Pedang tertawa. Membuat Montenero kembali gundah, berada dalam sangkar kebingungan. Keringat berleleran lagi dari sekujur tubuhnya. Tangannya kembali gemetar. Dengan berteriak sekeras mungkin, Montenero membanting cangkul yang sudah tergenggam kencang di tangannya. Berarti keberaniannya sedikit hilang, bukan? Bahkan barangkali hilang sama sekali? Belati dan Pedang kebingungan. Keduanya pucat pasi. Motivasi apa yang mesti disuntikkan untuk membangkitkan kesadaran keberanian Montenero menjelang matahari terbit?

"Aku tak mampu lagi melakukan apa-apa. Aku telah menuntaskan tugasku. Aku telah mencipta…. Uh…. Semestinya kau tak menghimpitku dengan hal-hal kecil yang justru akan menjebakku pada rasa bersalah semacam ini!" dengan suara penuh gemetar, seolah dicekam oleh ketakutan entah apa, Montenero angkat bicara.

"O…. Kau menganggapnya hal kecil, Montenero? Harusnya aku tadi menolak untuk kau gunakan membunuh jika kau menganggap penguburan adalah sebagai hal yang kecil, remeh. O…. aku bisa saja mogok untuk membunuh bila akhirnya kau malah bimbang sikap semacam ini! Kau tahu, Montenero. Aku bisa balik mengubah keberanianmu untuk membunuh. Aku bisa tiba-tiba saja menikam dadamu sendiri di depan Santa, Denta, dan Martineau. Bangsat! Anjing, kau!!!"

Montenero terpaku. Suasana di sekitar tempat pembantaian itu merayap senyap. Montenero berulang-kali blingsatan. Montenero terus-menerus mengusap keringat yang berleleran membasahi sekujur wajah. Dan detik terus saja berdetak. Sesekali ia garuk-garuk kepala sembari berjalan mondar-mandir. Belati dan Pedang cuma memandangi saja. Bisa jadi, Belati dan Pedang memang sudah kehabisan kata-kata untuk memotivasi Montenero. Sesekali dilihatnya mayat Santa yang terbujur kaku, Denta yang terkapar melingkar bagai ular, dan Martineau yang jika diperhatikan secara jeli ternyata malah tersenyum di puncak kenyerian kematiannya.

"Bagaimana, Montenero? Bagaimana? Aku masih sanggup membikin keberanian buatmu. Belum terlambat, dan tak akan pernah terlambat. Aku masih bersabar bersama Pedang."

"Bagaimana?" Montenero mengusik tanya kepada dirinya sendiri.
"Terserah!"
"Bagaimana, Belati?"
"Terserah! Bagaimana dengan kamu, Montenero? Masih sanggup kau mendengar kata-kataku? Ok. Engkau masih bisa bekerja dengan cepat menanam ketiga mayat itu baik-baik. Ambillah cangkul itu. Keduklah tanah segera. Kuburkan mereka senyaman mungkin. Ah, bulan yang sebentar lagi bakalan angslup itu juga pasti merestui dan memandangimu dengan rasa puas. Barangkali, ia bakalan memberi ucapan selamat kepadamu. Kenapa engkau mesti terjebak pada rasa ragu? Ayo, aku senantiasa berada di belakangmu!"

Aih, ayam telah berkokok bersahutan. Meskipun ayam baru berkokok, keadaan di sekitar tempat pembantaian itu sudah cerah. Udara meruapkan kesegaran. Montenero terlambat. Ia belumlah membuat perhitungan-perhitungan untuk bergegas menyuruh Belati agar mau menikamkan diri ke dada Montenero yang kini telah disesaki gebalau bingung, ketololan, amarah, dan entah apa lagi, juga entah ditujukan buat siapa lagi. Montenero betul-betul lunglai, lenyap keberanian, tercipta goresan sejarah yang entah baru entah tidak.

Mimpi tentang Rumah


Cerpen Mustafa Ismail

KAMI punya rumah di kampung. Tidak besar, tapi cukup menyenangkan. Rumah itu semi permanen. Ayah membangun rumah itu ketika aku kecil. Ibuku yang menimbun bagian dalam rumah itu, dengan tanah merah, sebelum diberi lantai dari semen campur pasir. Tanah itu diambil dari kebun kosong persis di depan bakal rumah kami, yang juga milik salah seorang famili ibu.

Waktu itu ibu tengah hamil adikku. Tetapi ibu tidak peduli. Ia memaksa diri mengangkut tanah untuk menimbun, karena bersemangat untuk punya rumah. Itu dilakukan ibu setiap pagi sampai matahari berada di atas kepala. Aku, yang waktu itu masih kecil, sepulang sekolah ikut membantu ibu. Biasanya aku mengangkut tanah dengan pengki dan membawa tertatih-tatih. Kalau sudah siang, ibu berhenti dan pulang untuk memasak. Aku juga ikut pulang karena lepas siang aku bersiap- siap untuk mengaji di meunasah.

AYAH dan ibu membangun rumah itu boleh dikata dengan semangat. Ayah seorang pegawai kecil di sebuah sekolah dan ibu membantu menambah pendapatan keluarga dengan menanam sayur-sayuran di halaman rumah tempat kami tinggal yang memang cukup luas.

Kalau musim tanam kacang tanah atau semangka, ibu juga ikut serta bertani dengan menyewa sawah orang lain dengan sistem bagi hasil.

Jadi praktis tidak banyak uang yang ditabung ayah dan ibu, kecuali beberapa puluh gram emas yang dikumpulkan bertahun-tahun, ditambah dengan meminjam kiri-kanan, termasuk dari atasan ayah di kantor. Tak ada bantuan dari siapa pun kecuali sebuah dorongan agar kami punya rumah.

Sebelumnya kami memang punya rumah, tapi sebuah gubuk di tanah pemberian orang tua ibuku. Itu sungguh kurang menyenangkan bagi ayah. Sebab tanah itu kerap dipersoalkan oleh saudara ibu yang lain, terutama adiknya, meskipun sebetulnya mereka sudah mendapat bagian masing-masing. Tetapi begitulah orang tak puas: selalu saja lebih indah hal-hal yang belum mereka miliki. Ayah tidak mau repot-repot dengan itu.

Maka ketika ada orang menjual tanah, ayah lalu membeli tanah itu. Ibu pun gembira sekali ketika itu. Apalagi tanah untuk rumah itu letaknya di pinggir jalan kabupaten yang berdebu dan tak beraspal. Jalan selebar tiga meteran itu menghubungkan Kecamatan Trienggadeng dan Meureudu, yang berjarak sekitar tujuh atau delapan kilometer itu. Aku suka menempuhnya dengan bersepeda bersama kawan-kawan sebaya.

Di samping jalan itu, membentang rel kereta api, menjulur dari Sigli entah sampai di mana. Mungkin sampai Aceh Utara dan Aceh Timur. Mungkin pula sampai Sumatra Utara. Aku memang tidak terlalu mengusut soal itu. Apalagi aku tidak pernah naik kereta yang melintas di rel itu. Hanya pernah melihatnya ketika aku kecil. Ketika aku mulai sekolah kereta api sudah tak ada. Tidak jalan lagi. Entah mengapa. Padahal, ketika tahu ayah membeli tanah dan akan membikin rumah di Jalan Baroh -orang kampungku menyebut begitu- aku senangnya bukan main. Aku membayangkan sesekali bisa naik kereta api.

AKU pernah bertanya: mengapa ibu begitu kuat mengangkat tanah untuk menimbun rumah? Jawaban ibu membikinku haru. "Kita memang harus kuat agar bisa punya rumah. Bagaimanapun kita lebih tenang tinggal di rumah sendiri, rumah yang kita bangun dengan keringat sendiri," kata ibu.

Ibu juga tidak mengajak ayah untuk membantu menimbun bagian dalam rumah. Menurut ibu, ayah juga sama seperti ibu. Hanya beda tempat saja. "Ibu justru membantu ayahmu. Kalau ayah turut mengangkat tanah, kasihan ayahmu terlalu lelah. Ayahmu sudah bekerja pagi sampai lepas siang," ujarnya. "Mengapa tidak diupahin saja sama orang untuk menimbun?"

Pertanyaanku dijawab dengan senyum oleh ibu. "Kalau kita upahin sama orang, kita tidak pernah bisa merasakan bagaimana sulitnya membangun rumah. Padahal itu penting supaya kita tahu benar arti sebuah jerih payah sehingga bisa merawatnya dengan baik. Lagi pula, kita tidak punya uang untuk itu."

Ah ibu, sungguh aku tidak terlalu mengerti kata-kata ibu. Aku pun tidak hendak bertanya lebih lanjut. Aku cuma bisa memahami kata-kata ibu bahwa mereka -ayah dan ibu- bercita-cita punya rumah. Rumah lebih baik. Di tanah sendiri. Lalu aku pun ikut membantu ibu. "Ayo, jangan bicara saja. Bantu ibu," katanya kemudian. Aku mencangkul bongkahan-bongkahan tanah dan memasukkan ke kain tua ibu yang digelar di tanah. Selanjutnya, ibu berjalan tertatih-tatih dengan perutnya makin buncit membawa beban tanah untuk menimbun rumah. Sebetulnya aku ingin libur sekolah beberapa hari agar bisa menemani sekaligus membantu ibu. Tetapi ibu melarangku. Katanya: kamu harus sekolah, biar bisa seperti ayah.
***

Lalu rumah itu berdiri. Setengah permanen. Rumah kami pertama-tama sangat jelek. Serupa onggokan. Memang, sudah beratap, berlantai, berdinding, dan berpintu. Tapi atapnya belum dicat merah saga, sebagaimana rumah-rumah lain yang beratap seng. Lantainya bukan tegel atau keramik, tetapi cuma beton yang dipernis dengan air semen.

Terus dindingnya masih menyembulkan batu-bata merah, belum diplester sama sekali. Loteng alias plafonnya belum ada. Kalau siang, panas matahari langsung menusuk ubun-ubun. Kalau musim hujan, dinginnya tak ketulungan. Hanya pintunya yang bagus. "Mengapa rumah kita tidak sebagus rumah-rumah di dekat pasar?"

"Rumah kita terbuat dari keringat. Tidak sama dengan rumah-rumah dekat pasar, milik toke-toke dan pejabat kecamatan, yang dibuat dengan uang. Sabar saja, kalau waktu milik kita, Insya Allah, rumah kita lama-lama akan menjadi seperti rumah-rumah dekat pasar itu." Ayah benar. Pelan-pelan rumah kami menjadi bagus. Satu per satu didandani. Atapnya dicat merah saga.

Diplester. Mula-mula bagian depan yang diplester, kali lain kamar tamu, terus merembet sampai kamar ayah, ruang makan, dapur, sampai ke kamarku. Itu dilakukan masing-masing dalam interval waktu berbulan-bulan. Setelah itu diberi loteng atau plafon. Mula-mula loteng bagian kamar tamu, lalu kamar makan, terus kamar ayah, terus loteng dapur, terakhir loteng kamarku. Tidurku pun menjadi tidak panas lagi. Lalu dicat. Semua itu dilakukan satu per satu dengan jeda cukup lama, sampai ayah berhasil mengumpulkan butiran-butiran waktu secukupnya.

RUMAH kami dekat pantai. Kalau malam aku suka duduk di luar, menikmati suara debur ombak. Kadang- kadang bersama ibu sambil menunggu ayah pulang dari pasar. Kadang bersama kakek, ayah ibu. Kakek suka bercerita tentang dongeng-dongeng. Aku mendengarnya sampai larut malam. Aku memang biasa tidur malam.

Kata kakek, rumah kami dekat Malaysia. Dari pantai di belakang rumahku, ada sebuah jembatan menghubungkan kampung kami dengan Malaysia. Jembatan itu terbuat dari bambu. Karena itu, banyak orang kampung merantau ke Malaysia, tinggal dan beranak-pinak di sana. "Mengapa jembatan itu sudah tidak ada? Aku ingin sekali main sore-sore Malaysia," tanyaku suatu kali. Kakek segera menyela. "Jembatan itu masih ada. Tetapi tidak bisa dilihat oleh anak kecil. Makanya kamu cepat- cepat besar kalau ingin main soresore ke Malaysia. Kamu bisa bersepeda ke sana," ujarnya. "Mengapa jembatan bambu bisa untuk bersepeda?"

"Itulah hebatnya," tanggap kakek. Meski bambu, tetapi kalau kita berjalan di atasnya, serasa berjalan di jalan licin beraspal. Bahkan, ada beberapa mobil yang lewat sana." "Mengapa bisa?" Aku makin tidak mengerti.

Kakek tersenyum sebentar, lalu berujar. "Bisa saja. Sebab, jembatan itu dibuat oleh indatu kita. Orang-orang kita yang hidup beratus-ratus tahun lalu. Mereka membuatnya perlahan-lahan. Dengan semangat berkobar. Mereka menumpahkan seluruh cinta untuknya.

Mereka tidak dibayar. Tetapi mereka senang melakukannya. Mereka makan dari harta Tuhan. Kalau siang, mereka membangun jembatan Kalau malam, mereka memancing atau menjala ikan. Setiap pagi, banyak orang datang ke sana untuk membeli ikan-ikan hasil tangkapan mereka." "Termasuk kakek?" "Ya, termasuk kakek."

Kakek memang seorang pedagang ikan. Kakek bukan cuma menjual ikan di pasar. Juga berjualan sampai ke kecamatan lain dengan mengayuh sepeda kumbang. Sering sekali kakek pulang larut malam. Tertatih-tatih mengayuh sepeda yang tak ada lampunya itu. Kalau bulan tidak terang, kakek memakai lampu senter untuk penerang jalan. Kadang kakek membawa banyak ikan yang tersisa. Lalu misyik -panggilanku untuk nenek- mencuci ikan-ikan itu dan membelahnya, memberi garam dan dijemur untuk dijadikan ikan asin. Itu dilakukan malam itu juga, supaya ikanikan itu tidak keburu busuk. Sering mendapatkan kakek pulang malam, aku kerap bertanya: "Apakah kakek tidak takut hantu? Sebab, kata orang kalau malam banyak hantu."

Kakek tertawa terbahak-bahak mendengar mendengar pertanyaanku. Aku menjadi tak mengerti. Lalu ia menukas: "Hantu itu tak pernah ada. Jalanan aman-aman saja." "Benarkah?" Kakek mengangguk.

Sejak situasi di Aceh makin tidak menyenangkan, ayah dan ibu memutuskan tinggal di Jakarta. Kebetulan aku sudah beberapa tahun tinggal dan bekerja di kota ini. Bukan hanya ayah dan ibu, sebagian warga lain, yang punya sanakfamili di luar Aceh, juga ikut mengungsi.

Ingin menentramkan diri, katanya. Pemuda juga begitu, mereka banyak yang pergi merantau. Ada yang ke Medan, Batam, Jakarta, sampai Malaysia. Tetapi, sejak tinggal di kota ini, ayah kerap termenung. Pikirannya selalu tertuju pada rumah. Tak jarang ia marahmarah sendiri dan mengatakan ingin pulang saja ke kampung. Sering pula ayah menyalahkan ibu yang dulu terus mendorong agar mereka segera meninggalkan kampung karena tidak sanggup lagi menghadapi berbagai kejadian yang malang-melintang di depan mata.

Kalau sedang berdebat dengan ibu -sebab ibu lebih berprinsip lebih baik hidup tenang jauh dari kampung daripada hidup was-was dan ketakutan i kampung sendiri- ayah selalu mengatakan: "Kalau Tuhan mau mencabut nyawa kita, di mana saja bisa. Mengapa kita harus takut pada mati." Kalau sudah begitu, ibu tidak akan melayani, dan pergi ke belakang dan menangis, karena merasa terus dipersalahkan oleh ayah. Waktu-waktu yang paling sering terjadi keributan antara ayah dan ibu adalah menjelang habis masa kontrak rumah. Karena pada masa itu ayah harus mengeluarkan uang dalam jumlah banyak untuk membayar biaya kontrak selanjutnya. Meski punya uang pensiun -ayah pensiunan pegawai negeri golongan IIID- sekitar Rp 1 juta rupiah sebulan, ayah selalu kepayahan setiap akan membayar biaya kontrakan.

Bisa dipahami memang, agak berat hidup di kota ini dengan gaji satu juta rupiah sebulan. Tetapi kalau dipikirpikir, masih beruntung ayah mempunyai pendapatan. Itu ditambah lagi dengan usaha ibu sehari-hari membuat kue untuk ditaruh di warung dekat tempat tinggal. Tidak banyak pemasukan memang, tetapi untuk belanja ikan dan sayur setiap hari tercukupi. Tetapi bagi ayah, ibu selalu dianggap telah mengambil keputusan yang keliru: hijrah dari kampung. Karena itu, ayah merasa selalu harus mengeluarkan uang banyak untuk tempat tinggal dan biaya hidup. "Rumah orang kita perbaiki, rumah sendiri kita biarkan terlantar," kata ayah selalu. Maksud ayah, membayar sekian juta rupiah untuk biaya kontrakan dianggap memperbaiki rumah orang. Kalau itu digunakan untuk merawat rumah sendiri, betapa sudah bagusnya rumah itu. Bukan hanya ibu, aku sendiri kadang juga kena semprot dari ayah. Aku dianggap yang memprovokasi ibu agar hijrah dari kampung dulu. Aku memang beberapa kali mengirim surat kepada ibu agar mempertimbangkan -aku tidak menyuruh- untuk tinggal di Jakarta saja. Mulanya ibu agak ragu. Tetapi setelah mengetahui sebagian orang Aceh, yang punya sanak-famili di luar daerah, meninggalkan kampung, ibu jadi terpengaruh juga.

Jadilah ibu kemudian mendesak ayah agar segera berkemas. Ayah menjual sepeda motor kesayangannya, menurut ayah, dengan harga murah. Juga menjual televisi, kulkas, dan perangkat elektronik lain. Semua dengan harga "butuh uang". Kecuali rumah, ayah bersikeras tidak mau menjualnya. "Kalau kita jual, nanti saat Aceh aman dan kita pulang kampung, kita akan tinggal di mana?" tanya ayah. Ibu memang tidak menyuruh agar ayah menjual rumah, karena ibu juga berharap suatu saat bisa kembali pulang kampung dan menghabiskan masa tuanya di sana. Akulah yang menyurati agar ayah dan ibu menjual rumah, setelah mengetahui keputusan mereka untuk hijrah. Aku berpikir praktis saja, daripada rusak, mendingan diuangkan saja. Lagi pula, buat apa lagi ayah dan ibu pulang ke kampung, semua anakanaknya -aku dan seorang adikku- sudah tinggal dan bekerja di Jakarta. Mendingan mereka tinggal di Jakarta, bisa dekat dengan kami, juga cucu-cucunya, yakni anak-anakku. Tetapi aku tidak memaksa juga. Biarlah ayah dan ibu mengambil keputusannya sendiri.

"Apakah kamu pernah berpikir tentang rumah? Rumah kita di kampung," tanya ayah suatu sore, ketika aku baru saja tiba dari tempat kerja. Aku melihat mata ayah basah dan beberapa tetes air matanya meluncur ke pipinya yang mulai keriput. Baru sekali ini aku melihat ayah menangis. Biasanya kalau teringat rumah, ayah hanya marah-marah dan wajahnya menjadi bersemu merah.

Aku duduk di samping ayah, memandang butiran-butiran hujan yang mulai turun, di tempat tinggal ayah dan ibu, sebuah rumah sederhana yang dikontrak seharga lima juta rupiah setahun itu. Aku betul-betul tersentak dengan cara ayah bertanya, juga suasana hatinya yang terasa begitu galau dan sedih. Ada apa yang terjadi sebenarnya.

Tetapi aku hanya menarik napas dalam- dalam dan menghembuskannya perlahan. Aku tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan ayah. Aku hanya bisa membayangkan dari jauh: sebuah rumah semi permanen, berkamar dua, dan beratap merah saga. Sepi dan sendiri. "Apakah ada kabar dari kampung?" tanyaku kemudian setelah lama terdiam. "Tidak," katanya sambil terisak, lalu mengusap air mata dengan ujung jarinya.

"Itulah masalahnya. Ayah khawatir terjadi apa-apa dengan rumah kita. Tadi malam ayah bermimpi rumah kita sudah roboh. Dan orang-orang satu per satu datang untuk mengambil papan dan kayu untuk dijadikan kayu bakar," kata ayah sangat pelan dengan isak yang tidak bisa ditahan. "Itu kan mimpi. Pada kenyataannya kan tidak."

"Mimpi itu ayah yakin sekali benar. Dan arti mimpi itu bisa banyak. Bisa saja rumah itu digunakan oleh orang lain untuk hal-hal yang tidak kita inginkan. Atau paling tidak rumah itu sudah bocor, kotor, dan mungkin kayu- kayunya mulai lapuk dan catnya sudah terkelupas. Padahal kamu tahu, betapa susahnya kita untuk punya rumah dulu. Kita dulu harus tahan lapar untuk membangunnya."

Sekali lagi aku menarik napas. Betul juga kata ayah. "Bagaimana kalau kita kirim surat kepada paman di kampung menanyakan kondisi rumah?" "Tidak. Ayah terpikir mau pulang sendiri ke Aceh ingin melihat rumah. Kasihan kalau rumah itu jadi rusak," suara ayah.

"Tetapi di kampung belum aman. Kita tunggu saja sampai kondisi benar-benar tenteram," aku memberi pengertian. "Sampai kapan?" Ayah bertanya dengan suara serak. Beberapa tetes air mata kembali meluncur ke pipinya. Aku menggigit bibir, tidak tahu harus berkata apa. "Seharusnya, masa-masa pensiun begini ayah jalani bersama ibumu di kampung sambil merawat rumah," tutur ayah dengan wajah yang makin basah.

Peradilan Rakyat


Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.

"Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu, "aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang sedang kacau ini."

Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.

"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"
Pengacara muda tertegun. "Ayahanda bertanya kepadaku?"
"Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."
Pengacara muda itu tersenyum.
"Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku."

"Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."

Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.

"Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri."

Pengacara tua itu meringis.
"Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan."
"Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!"
Pengacara tua itu tertawa.
"Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!" potong pengacara tua.
Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.

"Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan," sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu, "jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini."

Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang.

"Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog."
"Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya."

"Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada akhirnya negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak benar-benar menugaskan aku untuk membelanya. Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.

Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin danbeku. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara. Negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun, tetap kejahatan. Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku tentang.

Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini."

Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan.

"Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku bersedia untuk membelanya."

"Lalu kamu terima?" potong pengacara tua itu tiba-tiba.
Pengacara muda itu terkejut. Ia menatap pengacara tua itu dengan heran.
"Bagaimana Anda tahu?"

Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil menghela napas kemudian ia berkata: "Sebab aku kenal siapa kamu."

Pengacara muda sekarang menarik napas panjang.
"Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya."

Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
"Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?"
"Antara lain."
"Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku."
Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu.
"Jadi langkahku sudah benar?"
Orang tua itu kembali mengelus janggutnya.

"Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"
"Tidak! Sama sekali tidak!"
"Bukan juga karena uang?!"
"Bukan!"
"Lalu karena apa?"
Pengacara muda itu tersenyum.
"Karena aku akan membelanya."
"Supaya dia menang?"

"Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku."
Pengacara tua termenung.
"Apa jawabanku salah?"
Orang tua itu menggeleng.

"Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai pemenang."

"Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan."

"Tapi kamu akan menang."
"Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang."

"Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini."

Pengacara muda itu tertawa kecil.
"Itu pujian atau peringatan?"
"Pujian."
"Asal Anda jujur saja."
"Aku jujur."
"Betul?"
"Betul!"

Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Yang tua memicingkan matanya dan mulai menembak lagi.
"Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?"

"Bukan! Kenapa mesti takut?!"
"Mereka tidak mengancam kamu?"
"Mengacam bagaimana?"
"Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia tidak memberikan angka-angka?"

"Tidak."
Pengacara tua itu terkejut.
"Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?"
"Tidak."
"Wah! Itu tidak profesional!"
Pengacara muda itu tertawa.
"Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!"
"Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?"
Pengacara muda itu terdiam.
"Bagaimana kalau dia sampai menang?"
"Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan kejahatan!"
"Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?"
Pengacara muda itu tak menjawab.
"Berarti ya!"
"Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!"

Orang tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya mengurut dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.

"Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena kamu disogok."
"Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut."

"Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau perlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu, bukan?"

"Betul."
"Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang.

Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional."

Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan.
"Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia."

Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan.

"Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional."
"Tapi..."

Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda.
"Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam."

Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik.

"Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang lepas kembali seperti burung di udara. Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai."

Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.

Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.

"Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih, "Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?"